Jumat, 18 Maret 2016

(11) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-8, Baturaja-Tanjung Enim



Pukul 05.30 pagi, aku meninggalkan stasiun Baturaja. Pagi itu, ada 3 orang petugas di stasiun yang berjaga, satu di ruang kontrol, 2 orang lagi petugas kebersihan. Aku berpamitan kepada mereka. Stasiun Baturaja ini letaknya tidak persis di kota Baturaja, melainkan di Baturaja Barat, dan tidak dilewati oleh jalur trans Sumatera. Sehingga aku harus mengayuh sekitar 10 km untuk dapat bertemu dengan jalur utama trans Sumatera arah ke Muara Enim. 

Sesaat sebelum dirangkai kembali, di stasiun Baturaja
sudah dirakit kembali, siap lanjut!

Pagi itu, suasana masih sepi, jalanan basah, pertanda tadi malam turun hujan. Baunya khas sekali. Anjing-anjing milik warga, berkeliaran di dekat rumah. Itu ciri khas pemandangan kampung Baturaja dan Sumsel pada umumnya di sepanjang jalur trans Sumatra. Tidak perlu takut, karena anjing itu tidak menggonggong, tidak pula mengejar. Anjing-anjing itu sudah terlatih untuk menemani pemiliknya ke kebon/hutan, atau berburu babi hutan. Di hutan barulah mereka menggonggong. Di rumah, mereka sudah seperti anak angkat, dan menjadi anggota keluarga. Sayangnya, di ruas jalan ini aku sempat melihat ada anjing yang sepertinya terlindas mobil/bus. Kasihan sekali. 

Disisi kiri jalan ini mengalir sebuah sungai, sepertinya salah satu cabang sungai Ogan atau Komering, karena pada dasarnya Baturaja adalah ibukota dari kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Airnya coklat, pertanda membawa sedimen tinggi, hasil dari hujan semalam. Biasanya, kalau tak hujan, airnya bening. Seperti sungai Lematang di tempatku, sungai ini masih menjadi andalan warga untuk kebutuhan MCK.  Di jalan ini, sering kulihat, warga yang baru saja mentas mandi pagi dari sungai, dengan handuk yang masih melilit di tubuh. 

Setelah itu, barulah jalan ini bersatu dengan jalan trans Sumatera. Tandanya adalah adanya kehadiran mobil-mobil milik pemudik yang berlalu lalang. Kebanyakan pelat mereka selain BG, adalah B, BE, BD, BH, BA. Jika mengarah ke Muara Enim, itu mobil-mobil sumatera yang mudik dengan tujuan Bengkulu, Jambi, dan Padang.  Berkali-kali aku diselip oleh konvoi mobil yang diberi nomor bertuliskan “Mudik Basamo”.  Diantara mereka, ada yang sampai membuka kap mobil dan mengacungkan jempol. Dan kubalas dengan jempol pula.

Daerah yang kulewati adalah, Penengahan, lalu  Pengandonan. Aku sempat beristirahat disini, dipinggir sebuah sungai, sekitar pukul 10.00 WIB untuk sarapan pagi.  Aku memang berniat tidak berpuasa hari itu. Jumlah warung makan di jalur trans Sumatera jauh lebih sedikit daripada jalur Pantura jawa. Tapi, dalam urusan menghormati bulan ramadhan, etika pemilik warung makan di Jawa dengan Sumatera jauh berbeda. Di Sumatera, sulit mendapatkan warung makan yang terbuka lebar, rata-rata warung tertutup kain. Entah itu warung Padang, warung Tegal, maupun warung milik pribumi. Karena itu, di sebuah warung kecil, aku sempat berhenti untuk membeli Energen sereal dan biskuit. Tidak dimakan disana, tapi dipinggir sungai yang agak keluar dari jalan raya.
Ruas jalan di Baturaja Barat, masih basah karena hujan semalam

Kepada warga yang kebetulan ada disana,  aku minta izin untuk beristirahat, yang dengan hangat dipersilahkannya. Maka, kubuka salah satu pannier. Menggelar matras, membuka nesting, memasang gas dan menyalakannya di atas kompor kecil. Menuangkan air mineral kedalamnya, dan kemudian, sereal plus biskuit ke atasnya setelah agakmendidih. Itu menu sarapan pagi kita. Cukuplah sebagai sumber karbohidrat hingga jelang tengah hari nanti.
Sarapan pagi di pinggir sungai

Ada yang menarik, di jalur ini, banyak sekali lapak-lapak kecil. Bukan berjualan makanan atau minuman sepertilazimnya lapak di pinggir jalan di Pulau Jawa, melainkan berjualan bahan batu akik. Yang kulihat, tulisan yang cukup besar, adalah “Dijual, Lavender dan Spiritus, khas Baturaja”. Bahkan ada yang berani menulis harganya Rp 5.000. Entah itu 5000 perbiji atau perkilo. Aku tidak cukup berminat untuk berhenti menanyakannya.

Di jalur Pengandonan, banyak sekali pemanadangan yang bagus, dimana jalan raya berhimpitan dengan sungai Ogan. Betah rasanya menggowes di trans Sumatera yang indah pemandangannya. Serasa jadi turis beneran. Hehe… Namun, sayangnya, jalan yang rusak juga ada di Pengandonan. Cukup panjang. Mungkin ada 5 km, jalan berlubang, ditengah desa lagi. 
Salah satu view di Pengandonan, Baturaja
View favoritku di Etape 2... jalan air dan jalan darat berdampingan

Selepas Pengandonan, masuk ke Sugihwaras. Jalan relatif membaik, namun menjadi sangat dinamis, naik turun dan kanan kiri hutan.  Aku berhenti di salah satu masjid saat tengah hari di ruas jalan ini. Sesaat sebelum kemudian masuk ke Simpang Meo. Salah satu zona Merah jalur Baturaja-Muara Enim. Jalur Simpang Meo ini seperti Alas Roban kalau di Jawa Tengah, namun dengan pohon yang lebih heterogen, tanjakan yang lebih curam, dan lebih panjang. Rata-rata pemudik menghindari melewati jalan ini di saat hari mulai gelap. Alhamdulillah, ini masih tengah hari, jadi relatif lebih aman. 

Setelah tanjakan, di simpang meo ada turunan yang berkelok-kelok. Sayangnya, hendicamku sedang habis baterenya, dan aku tidak sempat mensetting kamera di handlebar. Jadi moment istimewa initidak sempat terabadikan. Saat dengan asyik meluncur turun, dikelokan kesekian, mendadak banyak orang dipinggir jalan. Rupanya, ada bus yang sedang terguling, jatuh ke jurang. Kelak di posko mudik PPK 10 Tanjung Enim, disampaikan ada 2 orang yang meninggal dunia. ‘Budak-budak’  Simpang Meo banyak berkerumun disana, mengatur lalulintas sambil menyodorkan kotak. Biasalah. Modus. Lambaian tangan dan teriakan “woi,mang…” membuatku dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. 

Selepas Simpang Meo, masuk ke Tanjung Agung, sekitar pukul 15.00 sore. Aku melewati warung bakso Solo. Kurem sepeda, dan mundur.  Ngebakso di jalur ini sepertinya cukup menarik. Jarang-jarang ada warung bakso Solo di sepanjang jalan yang kulewati.  Sambil makan aku mengumpulkan informasi jalur. Disini sebenarnya ada jalur singkat ke Lahat. Jalur Semendo orang sini bilang. Tapi, mereka tidak menyarankan aku melewati jalur itu, karena sangat sepi dan rawan. Lagipula tanjakan dan turunannya lebih curam. Pendek tapi melelahkan, dan kurang aman. Aku mengangguk, percaya pada saran mereka. Ikuti saja jalur trans Sumatera hingga Muara enim lalu berbelok ke Lahat. Lebih aman.  Ya, di jalur Sumatera ini, sangat penting untuk meminta pendapat warga sekitar terhadap kondisi trek dan keamanan. Mengandalkan GPS atau peta online semata, sangat tidak disarankan. Warga memiliki pengetahuan data yang tidak dapat diberikan oleh GPS atau peta online.

Jalan Tanjung Agung lumayan panjang, melewati banyak desa, sebelum kemudian kita memasuki Tanjung Enim. Kelurahan yang terkenal akan batubara atau PT Bukit Asamnya. Tanjung Enim sebenarnya hanyalah sebuah desa atau kelurahan, kecamatannya Lawang Kidul, kabupatennya Muara Enim. Tapi, keramaiannya seperti sebuah kota. Disini ada semuanya, pertokoan, stasiun, bahkan PLTU. Sekitar pukul 17.00 aku memasuki Tanjung Enim. Suasananya ramai, maklum sebentar lagi berbuka. Orang sedang berburu menu buka puasa. 

Aku melanjutkn perjalanan, keluar Tanjung Enim. Agak terburu-buru. Bukan apa-apa,mendadak langit menggelap. Awan kumulonimbus  nampak bergulung-gulung di angkasa, ke arah tujuanku, Lahat. Firasatku mengatakan akan turun hujan. Seperti malam sebelumnya berarti, malam ini pun akan turun hujan,terutama jika melihat kumpulan awan hitam di atas langit Tanjung Enim. Padahal jarak dari kota ini  ke kotaku di atas peta manual masih 40 km lagi.

Pukul 17.45, semakin gelap. Hujan mulai rintik-rintik. Tidak kupedulikan. Masih rintik. Tapi intensitasnya semakin banyak, bukan malah berhenti. Dan akhirnya, pada menit ke sekian, hujan turun seperti ditumpahkan dari langit. Aku kehujanan. Di pinggir jalan ada tulisan posko mudik PPK 10 100 meter lagi. Maka aku berlomba dengan hujan untuk berteduh di posko mudik. Bersama denganku, melakukan hal yang sama, seorang pengendara motor, juga turut berkejaran dengan hujan, ngiyup ke posko.

Sampai di posko, penjaga posko senyum-senyum melihat kami berdua seperti habis balapan.  Kondisi lumayan basah kuyup. Alhamdulillahnya, di posko itu tersedia kopi yang dapat  diseduh dan dijual untuk umum.  Lumayan untuk menghangatkan perut. Maghrib pun datang, tapi hujan tak kunjung berkurang. 

Petugas posko mengajak berbincang, tentang  perjalanan. Aku juga mencari tahu tentang posko ini.
Posko Mudik PPK 10 Batas kota Tanjung Enim-Muara Enim-Lahat ini didirikan oleh Kementrian PU. Petugas yang berwenang sedang berada di Palembang. Sekitar 3 jam perjalanan dari posko ini. Mereka yang bertugas di posko ini adalah ‘anak buah’nya. Mereka inilah yang memasang rambu-rambu bertuliskan ” Hati-hati, Rawan Longsor”, yang banyak bertebaran sejak dari Sugihwaras hingga Tanjungenim. Salah satu diantara mereka, namanya Meki, anak muda yang paling rapi, berpakaian batik, dan sopan kalau berbicara. Meki bercerita tentang dirinya. Jalan hidupnya tidak mudah. Tapi, Meki dengan gigih menghadapinya. Meski berperawakan kecil, Meki sanggup mengoperasikan kendaraan berat milik PU yang berada dbelakang posko ini. 

Pukul 20.00, hujan tak kunjung reda. Meki menawarkan untuk menginap di posko. Hujan dan alasan keamanan membuatku tak punya pilihan lain. Nampaknya aku harus menunda keinginan untuk segera tiba di rumah sehari lagi. Besok pagi baru dilanjutkan lagi perjalanannya. Jika dipaksakan, gowes dalam kondisi  hujan, malamhari, jalan yang basah, jelas tidak kondusif buat tubuh. Akhirnya, aku menginap di posko PPK 10 ini, tepatnya di belakang posko, tempat para petugas ini beristirahat. Kelak, setelah bertemu om Norca FedPalembang di Lahat, barulah aku tahu bahwa seluruh petugas di PPK 10 ini adalah teman om Norca. Pekerjaan om Norca membuat ia sering berinteraksi bersama mereka. 

Setelah bersih-bersih diri dan sholat, pukul 21.00, aku sudah pergi tidur dalam balutan sleeping bag yang dibawakan oleh Krakatau. Inilah tidur paling awal sepanjang perjalanan hingga hari ke-8.
Bermalam di posko mudik PPK 10 Tanjung Enim,Muara Enim

Kru Posko Mudik PPK 10 Tanjung Enim

Hari ini, jarak tempuhnya adalah 117 km. Sementara pengeluaran 67.000 ribu rupiah, semuanya untuk makan dan minum. 
Baturaja-Tanjung Enim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar