Pukul 07.00 pagi, aku dan om Ifan sudah meninggalkan
Cikarang. Om Ifan mengantarku hingga kalimalang via Presiden University. Pesan
dari om Ifan adaalah ikuti saja aliran sungai Kalimalang, itu akan membuat kita
sampai di Jakarta. Om Ifan juga memberiku sekotak kurma impor dari Arab kualitas
terbaik, sebagai sumber energi di jalan.
Jalan yang kulewati menyusuri Kalimalang terbuat dari cor
beton. Tidak terlalu lebar. Karena pagi hari jam kerja, maka harus berbagi
dengan motor yang jumlahnya bayak sekali . Sesekali ada juga truk yang berada
di kawasan itu melintas. Jarak Cikarang-Bekasi sekitar 20 km. karena itu
setelah kurang lebih 1 jam lebih sedikit mengayuh, aku sampai di kota Bekasi. Masih 30 km lagi ke depan untuk dapat sampai
ke Jakarta.
Di Bekasi ini, aku sempat di hentikan oleh seorang bapak
pengendara motor. Aku berkhusnudzon saja. Dan benar, beliau ternyata seorang
goweser. Asalnya malah dari Sayung, Demak. Sudah lama merantau ke Bekasi.
Namanya dr. Achsin. Beliau memberi semangat untuk perjalanan gowes mudik ini.
Bahkan beliau mencegat saya untuk kedua kalinya. Kali ini sambil memberi uang.
Sempat kutolak, tapi beliau memaksa. Sehingga pemberiannya tak dapat kutolak.
Selain dr Achsin, aku juga sempat bertemu seorang anggota
Fedseksi. Om Ari namanya. Beliau sedang Bike to Work ke tempat kerjanya.
Memang, ‘perlawanan’ terhadap kemacetan dan kendaraan bermotor paling terasa
ketika kita bersepeda ke tempat kerja di kota-kota besar seperti di seputaran Jakarta ini. Lebih
menggigit. Di sebuah persimpangan, om Ari memberiku sebuah Buff berlogo F yang
sedang dikenakannya. “ Ini baru dipake hari ini, untuk kenang-kenangan”, begitu
katanya. Wah, sebuah kenang-kenangan yang istimewa. Buff “F” tidak dijual ditempat
umum. Ini hanya tersedia di forum bursa komunitas Federal, dan tidak selalu ready stock.
bersama Om Ari, FedSeksi |
Diujung Kalimalang, airnya mentok tak lagi mengalir, itulah
perbatasan Bekasi-Jakarta. Segera saja sambutan khas Jakarta menyapa, yaitu
macet. Menurut arahan, aku harus mencapai jalan Gatot Subroto, Senayan, dan
Daan Mogot. Tapi, bersepeda dilalu lintas Jakarta, memang tidak mudah. Banyak
persimpangan, jalannya lebar-lebar, arah memutar yang jauh, dan padat
kendaraan. Apalagi dengan gegembolan. Sehingga dapat dipahami perjalanan ke
luar kota yang sejuk dan nanjak jadi idaman teman-teman federal ibukota.
Maka, sangat dimaklumi jika aku sempat tersesat di belantara
Jakarta dan terperangkap pula di kemacetannya. Tercatat dua kali aku nanjak
Flyover ke arah kuningan untuk menca pai Gatot Subroto/Gatsu. Yang terakhir malah diikuti oleh bus
Transjakarta dari belakang, karena flyovernya sempit. Hehe.. agak grogi gimana
gitu,,menjadi marshal bagi bus transjakarta.
Setelah bertanya dengan supir Go-Jek, akhirnya kuikuti
sarannya untuk lewat jalan tikus di sela-sela gedung tinggi. Dan akhirnya
berhasil tembus Gatsu, tapi dari arah yang berlawanan, sehingga harus memutar
terlebih dahulu dibawah Flyover. Nahasnya lagi, hape baterenyo drop sehingga
tak bisa membuka google map atau Sygic yang sudah terinstal di dalamnya. Di
Gatsu ada senayan dan gedung DPR. Hari itu, di markas B2W di senayan juga
sedang ada acara persiapan Launching Gowes To Kampoeng. Diundang hadir juga
kesana oleh om Putut, Sayang, karena tidak tahu persis dimana lokasinya,
akhirnya aku lewat saja. Berhenti sejenak di depan gedung DPR untuk
dokumentasi, dan kemudian lanjut ke Daan Mogot.
Di depan gedung MPR/DPR RI |
Daan Mogot ternyata ruas jalan terpanjang di Indonesia.
Panjangnya 30 km, sama seperti Semarang-Kendal. Atau Semarang-Demak. 21 km
pertama berada di Jakarta dan sisanya ada di Tangerang. Di ruas jalan ini juga
terletak terminal Kalideres. Saat pulang ke Semarang lagi, bus yang kunaiki
dari Lahat juga berhenti di terminal ini.
Aku menunaikan sholat Jumat di jalan ini. Tapi tidak
dipinggir jalan, karena jarang ada masjid dipinggir jalan. Aku harus menyebrang
kali dan masuk ke arah perkampungan di sekitar KM 13 untuk dapat menemukan
masjid. Cukup lama di masjid ini, hingga kira-kira pukul 13.30 WIB.
Perjalanan di lanjutkan, disini om Ipung Rahman dari FedTang
kukontak, beliau ternyata sudah menunggu di bangjo Tanah Tinggi, Tangerang.
Sekitar jam 14.15, setelah jalan Daan Mogot habis, aku bertemu dengan om Ipung.
Om Ipung kebetulan mau pulang kerumahnya di Bitung. Lumayan jauh jarak yang
kami tempuh dari Tangerang, 30 km. Diperjalanan kami sempat berhenti di tokoh
waralaba untuk mencharge dan membeli pulsa hape.
Selepas Tangerang,
kami masuk ke Cikupa. Kami sempat menunaikan sholat ashar di pombensin
di salah satu ruas jalan ini. Kemudian masuk ke Balaraja, dan Tigaraksa.
Menjelang pertigaan Asem, kami sempat berhenti untuk makan malam di warung
soto. Di pertigaan Asem, kami berpisah. Rencananya om Ipung lanjut ke Bitung
dengan loading bus, dan saya meneruskan ke arah Serang. Tapi dalam
perkembangannya, entah kenapa, om Ipung akhirnya melanjutkan 30 km yang tersisa
dengan digowes. Luar biasa om!
Ashar-an dulu sama om Ipung yang pake Lady |
Selepas pertigaan Asem, aku sempat terjebak kemacetan di
pasar tumpah, namanya apa aku lupa, jalan yang kecil itu, ternyata masih harus
berbagi dengan lapak penjual dan orang yang hilir mudik, termasuk motor yang
parkir. Sehingga jalan benar-benar tersendat dan memakan waktu. Sudah begitu, pukul 21.30, di Kragilan,
menjelang kota Serang, hujan turun dengan derasnya. Sekitar 1 jam lamanya hujan
baru berhenti, tidak benar-benar berhenti,
sedikit gerimis, barulah perjalanan dapat dilanjutkan. Sebenarnya aku
membawa jaas hujan, tapi membayangkan kehujanan di malam hari, sementara masih
berada diseparoh jalan rasanya eman sekali, maka kupilih ‘ngiyup’ saja
ketimbang berhujan-hujanan.
Di teras toko waralaba tempatku menunggu hujan tadi, ada kejadian. Freshcareku diatas meja
tidak sengaja terjatuh oleh seorang anak muda yang buru-buru ‘ngiyup’,
belakangan diketahui hendak mudik ke Lampung. Mungkin karena melihat ekspresiku
yang sedikit kaget dan kecewa, walaupun aku sudah berkata “nggak
papa”..akhirnya, temannya yang satu lagi, membelikanku freshcare yang baru.
Wow, sopan sekali anak muda ini. Aku menolak, karena freshcare yang jatuh sudah
bekas, masa diganti baru. Tapi si anak muda bersikeras untuk tetap mengganti.
Ya, sudahlah, akhirnya kami jadi teman ngobrol sambil menunggu hujan reda.
Pukul 22.30, melanjutkan perjalanan. Tapi kantuk datang
menerpa. Di salah satu ruas jalan ada Posko Mudik yang melayani cek kesehatan. Aku sempat berhenti untuk mengukur tensi. Alhamdulillah, semua normal. Perjalanan kulanjutkan kembali. Tawaran untuk istirahat kutolak halus. Jalanan licin karena barusan di guyur hujan. Cilegon masih 30km lagi.
Di Cilegon sebenarnya, menurut info sudah menunggu om Faizal dari FedCilegon. Tapi
untuk mencapainya, paling tidak butuh waktu 2 jam atau pukul 00.30 baru
sampai. Terlalu larut mungkin.
Cek tensi di Posko mudik |
Akhirnya, saat pukul 23.30, dan mata sudah ngantuk berat,
plus bokong sudah panas diatas sadel, akhirnya aku menghentikan perjalanan. Dalam
hal ini, dari cerita yang kudengar, aku sangat salut kepada teman-teman
peturing yang bisa tetap gowes hingga pukul 02.00 dinihari. Kubelokkan sepeda
ke sebuah pombensin tidak jauh dari terminal Serang. Disebelah bawah pombensin
itu ada sebuah mushola yang sepertinya bisa digunakan untuk istirahat.
Aku lalu menemui supervisor yang bertugas malam itu untuk minta izin
beristirahat.
Setelah izin didapat, aku segera beres-beres untuk beristirahat.
Musholanya dalam kondisi tak terawat, jarang dibersihkan, debu disana-sini.
Tapi air masih mengalir lancar. Pom ini memang punya dua mushola, yang dekat
toilet dibagian atas. Sehingga mushola bawah ini jarang digunakan. Selanjutnya,
mau kasih kabar teman, eh, hape masih mati. Ya sudah, besok sajalah. Sekarang
istirahat dulu. Aku tidur di dalam mushola dengan menggelar matras dan dalam
balutan sleeping bag, seperti
kepompong.
Sempat menyetrika kaos dengan setrika mini listrik, biar nggak kumuh |
Mushola pombensin dekat batas kota |
Di hari ke-5 ini, jarak tempuh yang berhasil didapat 151 km.
Pengeluaran 100 ribu rupiah, separuhnya untuk pulsa.
Cikarang-Serang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar