Kamis, 17 Maret 2016

(9) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-6, Bakauheni-Bandarlampung



kapal Ferry mulai berjalan
ETAPE KE-2 : PULAU SUMATERA

Setelah haluan dibuka secara hidrolik, satu persatu kendaraan memasuki kapal. Motor dan sepeda di lantai 2. Pukul 11.00 kapal baru benar-benar berlayar. Di atas kapal, kumanfaatkan untuk istirahat. Matras kuambil dari sepeda dan digelar dilantai, dan kucoba untuk tidur. Yang kuingat aku orang pertama yang melakukan hal itu. Saat terbangun 1 jam kemudian, kulihat ternyata sudah banyak juga bapak-bapak melakukan hal yang sama, tergeletak tidur.

Di atas kapal, aku coba mereview perjalanan etape 1-Pulau Jawa. Alhamdulillah sejauh ini tidak ada masalah dengan kaki sebagai elemen utama dalam bersepeda. Ritme dan kecepatan sudah tepat sehingga tidak mengakibatkan pegal-pegal atau kram. Istirahat recovery juga cukup. Memang sih saat tidur di malam hari, perasaan baru saja merebahkan kepala diatas bantal tahu-tahu sudah adzan subuh. Tidurnya nyenyak sekali. Pulas, tanpa sempat bermimpi sama sekali.
Tentang ritme, Ini adalah salah satu keuntungan gowes sendirian. Kita tidak perlu menyesuaikan ritme gowes kita dengan orang lain, memperlambat atau mempercepatnya. Dalam turing jarak jauh, sejauh yang kuketahui, ritme bersepeda menentukan ketahanan dan stamina diri. Ritme itu terdiri dari putaran rpm roda/crank dan laju kecepatan sepeda. 

Intinya,secara fisik dan mental aku siap untuk etape ke-2 Pulau Sumatera. Etapepaling gelap datanya dan minim dukungan, tidak seperti di pulau Jawa. Aku sudah menyiapkan jurus jitu untuk menjaga semangat gowes di etape 2. Jurus jitu itu adalah TDL alias Tinggal Dikit Lagi. Ya, ini pulau kelahiranku, pulau Swarna Dwipa, sebutan lain untuk pulau Sumatera.  Tinggal sedikit lagi akan sampai rumah. hehe..

Pukul 13.30 kapal berlabuh. Pukul 14.00, roda sepedaku menjejakkan kaki pertamanya di pulau Sumatera.Segera, Siger bukit bakauheni menyambut  mengucap selamat datang. Dan tidak tanggung-tanggung, sambutannya berupa tanjakan tinggi dan panjang begitu hendak keluar pelabuhan bakauheni. Mantab! Jalur lurus adalah jalur Lintas Tengah, ke kiri adalah Lintas Timur. Aku pilih lurus. Lintas Tengah!
Bukit Siger di pintu keluar pelabuhan Bakauheni
Saat melalui tanjakan Bakauheni sekayuh demi sekayuh, para pemudik bermobil yang sedang istirahat di pinggir jalan menatapku dengan heran.  Tatapan yang lama-lama aku jadi terbiasa. Di puncak tanjakan pertama, aku istirahat sebentar, sambil bertanya kepada warga sekitar tentang medan dan kondisi keamanan rute ke Bandarlampung. Alhamdulillah, beliaunya cukup bijak menyemangati, bahwa tanjakannya sudah tidak banyak lagi, cuma Bakauheni ini sama Tarahan menjelang kota Bandarlampung.  Sedikit lega di hati. Padahal, setelah kulewati, tanjakannya itu ternyata ada banyak. Haha..

Hari itu, jalan masih  lengang. Belum banyak mobil pemudik atau bus yang melewati jalan itu, baik menuju Bandarlampung maupun menuju Bakauheni.  Kondisi jalan juga bagus dan halus. Berbeda sekali dengan kondisi jalan Pantura. Sehingga meskipun nanjak atau menurun, dapat meluncur dengan tenang, tidak khawatir kejeglong lubang.  Menurut peta, jarak Bakauheni-Bandarlampung itu 97 km. Tapi, kalau menurut plang di jalan, jaraknya 92 km.  Info dari om Adi dari Fedlampung, jarak itu bisa ditempuh dalam waktu 5-7 jam.  Faktanya kemudian, aku menghabiskan waktu 8 jam. Nantinya baru pukul 22.30 aku tiba di Posko Mudik Tugu Pahlawan Panjang.

Berdasarkan catatanku, tanjakan bakauheni itu setidaknya ada 4; di km 0-3, km 5, km 7, dan km 9. Yang menarik, sepanjang perjalanan, anak-anak yang melihatku segera memanggilku dengan “Turis…turis..”. Sebagian lagi berteriak, “Bule… bule…”. Selidik punya selidik, saat aku berisitirahat membeli air minum, dijelaskan bahwa hanya turis atau bule yang biasa mereka lihat naik sepeda turing di jalan itu. Mereka tidak menduga jika ada juga turis ‘ireng’ yang bisa gowes seperti itu. Waduh,masa sih ragu sama kemampuan bangsa sendiri. Tapi, rata-rata, sepanjang bakauheni-Bandarlampung, warga menunjukkan sikap respek kepada goweser jarak jauh.
Salah satu tanjakan di ruas Bakauheni-Bandarlampung
Saat berhenti di sebuah toko waralaba di Kalianda, misalnya, saat jelang magrib, staff toko bercerita bahwa dirinya belum lama ini dibegal di jalur tanjakan Bakauheni di km 5. Ia kehilangan dompet dan hape, untungnya motornya tidak diambil. Pelakunya remaja-remaja  tanggung yang naik beberapa motor. Nah, remaja-remaja ini juga aku temui dititik yang dimaksud. Pada saat aku nanjak pelan, dari belakang ada  2 sepeda motor  gaya anak-anak geng motor yang mengikuti pelan, kemudian melewati, lalu tidaklama kemudian balik lagi… Waktu itu, aku menyapa mereka, “woi, mang…”, dan mereka juga balas menyapa, bahkan ada juga yang mengacungkan jempolnya. Alhamdulillah, tidak terjadi suatu apa.

Teknik yang sama, aku gunakan juga saat nanti melewati Simpang Meo, salah satu Zona Merah di rute Baturaja-Muaraenim.  Kepada ‘budak-budak’ ini kulambaikan tangan dan kusapa lebih dahulu. Mereka rata-rata respon dan respek, dan  membiarkanku lewat.

Malam di jalur Bakauheni-Bandarlampung ini banyak gelap gulitanya. Karena itu, saran dariku untuk para goweser yanghendak menghindari malam di jalur ini adalah, kalau bisa turun dari Bakauheni jangan lebih dari pukul 09.00 pagi. Atau masuk merak pagi-pagi sekali. Karena butuh waktu 3-4 jam untuk dapat melewati selat Sunda di musim Lebaran ini. Karena aku mendarat pukul 14.00 siang, sudah pasti aku terjebak malam.  Karena itu, perlengkapan gowes malam mutlak diperlukan di jalur ini. Kegelapan itu karena kanan kiri jalan masih hutan atau kebun. Alhamdulillah, aku membawa senter SWAT dan headlight untuk pencahayaan depan, ditambah rompi skotlite dan skotlite dari pannier untuk cahaya dari belakang. Sehingga cukup aman bisa melalui kegelapan.

Disinilah bedanya, di jalur Pantura Pulau Jawa, aku berharap bus dan truk janganlah lewat. Di jalur Sumatera ini, aku malah berharap bus dan truk lewatlah segera. Hehe.. itu karena lampu mereka cukup terang menyinari jalan. Saat mobil-mobil berlalu dan gelap kembali mendera, untuk menenangkan diri aku berdoa dan membaca takbir berulang-ulang. Setelah masuk sebuah desa, barulah lampu-lampu  kembali menerangi jalan, untuk kemudian gelap kembali, setelah melewati desa itu.

Setelah melewati Kalianda, aku memasuki daerah Merak Belatung, lalu Umbulan Peponggor, dan kemudian Tarahan. Di Tarahan ini, sebenarnya ada tanjakan sekaligus turunan yang eksotik, karena pemandangan sebelah kiri jalan adalah Selat Sunda. Sayangnya, karena malam, dan gelap, aku tidak bisa menikmati pemandangan itu, dan fokus pada keamanan saat meluncur di turunan yang cukup panjang. Mungkin ada 2 km panjangnya turunan itu. Lepas dari Tarahan, masuk ke Srengsem. Setelah itu, Panjang. Di Panjang juga ada pelabuhan. Setelah pelabuhan ada tugu pahlawan yang merupakan persimpangan masuk ke kota Bandarlampung atau Tanjungkarang.

Disinilah, rekan-rekan Fedlampung menunggu. Tepatnya di sebuah posko mudik. Disana telah menunggu om Adi, dan rekan dari Rakata Cycling Club, om Sirin, juga om Rio, dan om Ichan. Setelah ngobrol sebentar, pukul 23.00, kami meluncur masuk ke kota Tanjungkarang. Jaraknya kira-kira 10 km dari Panjang.

Disambut teman-teman FedLampung di Posko Mudik
Ternyata jalan ke Tanjungkarang, ada beberapa trek nanjaknya juga. Sebenarnya tidak terlalu tinggi, tapi karena fisik sudah lelah, tanjakan itu kulalui dengan kecepatan pelan. Melihat ini, om Sirin yang saat itu menjadi sweeper menawarkan diri untuk mendorongku dari belakang. Wah, asyik juga, nanjak sambil didorong tenaga super sama sweeper.. hehe..

di Tugu Adipura Bandarlampung
Kami sempat berpose sebentar di depan hotel Novotel dan tugu Adipura sebagai ikon kota Bandarlampung. Lalu mampir di warung Padang untuk makan malam. Itu pukul 00.30 WIB.  Jadi sekaligus sebagai makan sahur.  Pukul 01.00, bersama om Sirin tiba di kediaman om Adi di dekat stasiun Tanjungkarang. Setelah bersih-bersih dan bincang-bincang sebentar,  pukul 01.30 aku tertidur. Pukul 04.00 om Adi membangunkanku untuk sahur. Malam itu, rupanya om Adi tidak tidur.
Hari ke-6 ini, jika dihitung dari Serang ke Bandarlampung, jarak tempuhnya 137 km. Biaya yang dikeluarkan Rp 24.500 untuk kapal + Rp 55.000,- untuk makan-minum, Rp 15.000 untuk pulsa perdana. Total 94.500,-
Bakauheni-Bandarlampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar