kapal Ferry mulai berjalan |
Di atas kapal, aku coba mereview perjalanan etape 1-Pulau
Jawa. Alhamdulillah sejauh ini tidak ada masalah dengan kaki sebagai elemen
utama dalam bersepeda. Ritme dan kecepatan sudah tepat sehingga tidak
mengakibatkan pegal-pegal atau kram. Istirahat recovery juga cukup. Memang sih saat tidur di malam hari, perasaan
baru saja merebahkan kepala diatas bantal tahu-tahu sudah adzan subuh. Tidurnya
nyenyak sekali. Pulas, tanpa sempat bermimpi sama sekali.
Tentang ritme, Ini adalah salah satu keuntungan gowes
sendirian. Kita tidak perlu menyesuaikan ritme gowes kita dengan orang lain,
memperlambat atau mempercepatnya. Dalam turing jarak jauh, sejauh yang
kuketahui, ritme bersepeda menentukan ketahanan dan stamina diri. Ritme itu
terdiri dari putaran rpm roda/crank dan laju kecepatan sepeda.
Intinya,secara fisik dan mental aku siap untuk etape ke-2
Pulau Sumatera. Etapepaling gelap datanya dan minim dukungan, tidak seperti di
pulau Jawa. Aku sudah menyiapkan jurus jitu untuk menjaga semangat gowes di etape
2. Jurus jitu itu adalah TDL alias Tinggal Dikit Lagi. Ya, ini pulau
kelahiranku, pulau Swarna Dwipa, sebutan lain untuk pulau Sumatera. Tinggal sedikit lagi akan sampai rumah. hehe..
Pukul 13.30 kapal berlabuh. Pukul 14.00, roda sepedaku
menjejakkan kaki pertamanya di pulau Sumatera.Segera, Siger bukit bakauheni
menyambut mengucap selamat datang. Dan
tidak tanggung-tanggung, sambutannya berupa tanjakan tinggi dan panjang begitu
hendak keluar pelabuhan bakauheni. Mantab! Jalur lurus adalah jalur Lintas
Tengah, ke kiri adalah Lintas Timur. Aku pilih lurus. Lintas Tengah!
Saat melalui tanjakan Bakauheni sekayuh demi sekayuh, para
pemudik bermobil yang sedang istirahat di pinggir jalan menatapku dengan
heran. Tatapan yang lama-lama aku jadi
terbiasa. Di puncak tanjakan pertama, aku istirahat sebentar, sambil bertanya
kepada warga sekitar tentang medan dan kondisi keamanan rute ke Bandarlampung.
Alhamdulillah, beliaunya cukup bijak menyemangati, bahwa tanjakannya sudah
tidak banyak lagi, cuma Bakauheni ini sama Tarahan menjelang kota
Bandarlampung. Sedikit lega di hati.
Padahal, setelah kulewati, tanjakannya itu ternyata ada banyak. Haha..
Bukit Siger di pintu keluar pelabuhan Bakauheni |
Hari itu, jalan masih
lengang. Belum banyak mobil pemudik atau bus yang melewati jalan itu,
baik menuju Bandarlampung maupun menuju Bakauheni. Kondisi jalan juga bagus dan halus. Berbeda sekali
dengan kondisi jalan Pantura. Sehingga meskipun nanjak atau menurun, dapat
meluncur dengan tenang, tidak khawatir kejeglong
lubang. Menurut peta, jarak
Bakauheni-Bandarlampung itu 97 km. Tapi, kalau menurut plang di jalan, jaraknya
92 km. Info dari om Adi dari Fedlampung,
jarak itu bisa ditempuh dalam waktu 5-7 jam.
Faktanya kemudian, aku menghabiskan waktu 8 jam. Nantinya baru pukul
22.30 aku tiba di Posko Mudik Tugu Pahlawan Panjang.
Berdasarkan catatanku, tanjakan bakauheni itu setidaknya ada
4; di km 0-3, km 5, km 7, dan km 9. Yang menarik, sepanjang perjalanan,
anak-anak yang melihatku segera memanggilku dengan “Turis…turis..”. Sebagian
lagi berteriak, “Bule… bule…”. Selidik punya selidik, saat aku berisitirahat
membeli air minum, dijelaskan bahwa hanya turis atau bule yang biasa mereka
lihat naik sepeda turing di jalan itu. Mereka tidak menduga jika ada juga turis
‘ireng’ yang bisa gowes seperti itu. Waduh,masa sih ragu sama kemampuan bangsa
sendiri. Tapi, rata-rata, sepanjang bakauheni-Bandarlampung, warga menunjukkan
sikap respek kepada goweser jarak jauh.
Saat berhenti di sebuah toko waralaba di Kalianda, misalnya,
saat jelang magrib, staff toko bercerita bahwa dirinya belum lama ini dibegal
di jalur tanjakan Bakauheni di km 5. Ia kehilangan dompet dan hape, untungnya
motornya tidak diambil. Pelakunya remaja-remaja
tanggung yang naik beberapa motor. Nah, remaja-remaja ini juga aku temui
dititik yang dimaksud. Pada saat aku nanjak pelan, dari belakang ada 2 sepeda motor gaya anak-anak geng motor yang mengikuti
pelan, kemudian melewati, lalu tidaklama kemudian balik lagi… Waktu itu, aku
menyapa mereka, “woi, mang…”, dan mereka juga balas menyapa, bahkan ada juga
yang mengacungkan jempolnya. Alhamdulillah, tidak terjadi suatu apa.
Teknik yang sama, aku gunakan juga saat nanti melewati
Simpang Meo, salah satu Zona Merah di rute Baturaja-Muaraenim. Kepada ‘budak-budak’
ini kulambaikan tangan dan kusapa lebih dahulu. Mereka rata-rata respon dan
respek, dan membiarkanku lewat.
Malam di jalur Bakauheni-Bandarlampung ini banyak gelap
gulitanya. Karena itu, saran dariku untuk para goweser yanghendak menghindari
malam di jalur ini adalah, kalau bisa turun dari Bakauheni jangan lebih dari
pukul 09.00 pagi. Atau masuk merak pagi-pagi sekali. Karena butuh waktu 3-4 jam
untuk dapat melewati selat Sunda di musim Lebaran ini. Karena aku mendarat
pukul 14.00 siang, sudah pasti aku terjebak malam. Karena itu, perlengkapan gowes malam mutlak
diperlukan di jalur ini. Kegelapan itu karena kanan kiri jalan masih hutan atau
kebun. Alhamdulillah, aku membawa senter SWAT dan headlight untuk pencahayaan
depan, ditambah rompi skotlite dan skotlite dari pannier untuk cahaya dari
belakang. Sehingga cukup aman bisa melalui kegelapan.
Disinilah bedanya, di jalur Pantura Pulau Jawa, aku berharap
bus dan truk janganlah lewat. Di jalur Sumatera ini, aku malah berharap bus dan
truk lewatlah segera. Hehe.. itu karena lampu mereka cukup terang menyinari
jalan. Saat mobil-mobil berlalu dan gelap kembali mendera, untuk menenangkan
diri aku berdoa dan membaca takbir berulang-ulang. Setelah masuk sebuah desa,
barulah lampu-lampu kembali menerangi
jalan, untuk kemudian gelap kembali, setelah melewati desa itu.
Setelah melewati Kalianda, aku memasuki daerah Merak
Belatung, lalu Umbulan Peponggor, dan kemudian Tarahan. Di Tarahan ini,
sebenarnya ada tanjakan sekaligus turunan yang eksotik, karena pemandangan
sebelah kiri jalan adalah Selat Sunda. Sayangnya, karena malam, dan gelap, aku
tidak bisa menikmati pemandangan itu, dan fokus pada keamanan saat meluncur di turunan
yang cukup panjang. Mungkin ada 2 km panjangnya turunan itu. Lepas dari
Tarahan, masuk ke Srengsem. Setelah itu, Panjang. Di Panjang juga ada
pelabuhan. Setelah pelabuhan ada tugu pahlawan yang merupakan persimpangan
masuk ke kota Bandarlampung atau Tanjungkarang.
Disinilah, rekan-rekan Fedlampung menunggu. Tepatnya di
sebuah posko mudik. Disana telah menunggu om Adi, dan rekan dari Rakata Cycling
Club, om Sirin, juga om Rio, dan om Ichan. Setelah ngobrol sebentar, pukul
23.00, kami meluncur masuk ke kota Tanjungkarang. Jaraknya kira-kira 10 km dari
Panjang.
Disambut teman-teman FedLampung di Posko Mudik |
Ternyata jalan ke Tanjungkarang, ada beberapa trek nanjaknya
juga. Sebenarnya tidak terlalu tinggi, tapi karena fisik sudah lelah, tanjakan
itu kulalui dengan kecepatan pelan. Melihat ini, om Sirin yang saat itu menjadi
sweeper menawarkan diri untuk
mendorongku dari belakang. Wah, asyik juga, nanjak sambil didorong tenaga super
sama sweeper.. hehe..
Kami sempat berpose sebentar di depan hotel Novotel dan tugu
Adipura sebagai ikon kota Bandarlampung. Lalu mampir di warung Padang untuk
makan malam. Itu pukul 00.30 WIB. Jadi
sekaligus sebagai makan sahur. Pukul
01.00, bersama om Sirin tiba di kediaman om Adi di dekat stasiun Tanjungkarang.
Setelah bersih-bersih dan bincang-bincang sebentar, pukul 01.30 aku tertidur. Pukul 04.00 om Adi
membangunkanku untuk sahur. Malam itu, rupanya om Adi tidak tidur.
Hari ke-6 ini, jika dihitung dari Serang ke Bandarlampung,
jarak tempuhnya 137 km. Biaya yang dikeluarkan Rp 24.500 untuk kapal + Rp
55.000,- untuk makan-minum, Rp 15.000 untuk pulsa perdana. Total 94.500,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar