Jumat, 18 Maret 2016

(12) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-9, Tanjung Enim-Lahat



Hari ini badan terasa bugar, entah karena tidur yang lebih panjang atau karena sudah dekat sampai rumah. Dengan medan yang (masih) naik-turun, dan jarak yang tinggal 40 km lagi, perkiraan jam 10.00 sudah sampai rumah. Tapi ternyata salah perkiraan , faktanya  aku sampai rumah pukul 11.30 WIB.

Pukul 06.30, setelah mandi, aku berpamitan kepada para petugas PPK 10 yang muda dan baik hati.  Kami sempat berpose sebentar di depan posko, sebagai kenang-kenangan. Mengikuti saran Meki, aku lewat jalan alternatif yang belum lama dibuka. Jalan ini lebih cepat sampai ke Lahat, namun lebih dinamis naik-turun. Penasaran dengan info ini, aku pun memilih jalan ini, bukan jalan yang biasanya, yang menuju Muara Enim dulu.

Ternyata benar, jalannya lebih pendek, sayangnya belum tercantum di peta manual yang kubawa. Dan benar juga banyak naik-turunnya. Ini jalur roller coster. Nanjak terus meluncur turun, lalu nanjak lagi. Jadilah judulnya, pagi-pagi sarapan tanjakan. Di jalur ini, terlihat beberapa alat berat masih diparkir di tepi jalan. Dan nampak pula rumah-rumah baru bertipe perumahan. Tanah di kanan kiri jalan juga nampak sudah dkapling-kapling.
Jalur alternatif Tanjung Enim-lahat
Ujung jalan alternatif ini adalah Terminal Regional Muara Enim. Simpangannya bertemu dengan jalan raya Muara Enim-Lahat. Tidak jauh dari Terminal Regional adalah gerbang batas kota Kab. Lahat. Wow, pagi-pagi aku sudah masuk Lahat, walau masih di wilayah kabupaten yang paling ujung, yaitu Merapi Timur. Kota Lahat masih 35 km dari sini.

Dari Merapi Timur ini, jalan tidak ada yang  lagi menanjak curam.  Kalaupun menanjak, landai. Kondisi jalan juga bagus. Sampai hari ini, di etape 2, tidak ada kerusakan pada sepeda, spoke juga baik-baik saja. Di Merapi Timur ini ada tambang batubara. Lepas dari Merapi Timur, masuk ke Merapi Barat. Di sinilah ikon Lahat dapat dilihat dengan jelas, yaitu Bukit Serelo atau Gunung  Jempol.  Sungai Lematang juga dapat kita saksikan disini, dekat dengan jalan raya, seperti saat berada di Pengandonan dengan sungai  Ogannya. 

Di ruas jalan ini, kita juga dapat menyaksikan jerambah (jembatan) gantung yang membelah sungai. Sungai Lematang sampai detik ini juga masih dijadikan sarana utama MCK oleh warga di sepanjang alirannya. Itu karena sungai Lematang masih alami. Keruhnya murni karena sedimen paskahujan bukan karena limbah pabrik seperti lazimnya sungai di pulau Jawa.

Salahsatu pemandangan khas : Jembatan Gantung
View di Merapi Barat, Kab. Lahat
Pukul 10.30 aku tiba di Simpang Tiga Lahat. Kulihat disini ada Posko Mudik Terpadu. Di pertigaan ini, ambil kiri berarti masuk ke Pasar atau Kota Lahat, kanan lewat jalan lingkar.  Itu artinya Kota Lahat sudah didepan mata.  Kira-kira 10 km lagi jaraknya. Aku kemudian belok kanan, ke arah jalan lingkar. Seingatku dari sini, nanti bisa tembus ke Bandarjaya, melewati Kantor Bupati, lalu GOR, kemudian pertigaan Kodim, lalu Talang Jawa. Aku ingin mengambil foto di tugu pahlawan di pertigaan Kodim itu. 

Tidak lama setelah masuk ke jalan lingkar, ada sebuah hotel besar. Namanya Grand Zuri. Hotel itu dimasa aku  kanak-kanak belum ada. Namun sekarang sudah menjadi hotel berbintang. Nah, seharusnya tidak lama setelah hotel itu, aku berbelok ke kiri. Tapi yang terjadi, aku malah memilih jalan terus, ke jalan lingkar baru.
Jalan lingkar ini ternyata isinya jalan roller coster. Aduh, jam menunjukkan pukul 11.00, sudah lumayan terik, kok malah disuguhi roller coster. Sesekali mobil pemudik yang hendak menuju Lubuk Linggau dan  Tebing Tinggi melintas. Aku sempat ragu, jalan ini menuju kemana, jangan-jangan justru keluar Lahat. Haha.. kok malah tersesat di kota sendiri. Tapi, asli, jalan ini baru, aku belum pernah lewat sini sebelumnya. Sungguh banyak perubahannya setelah 10 tahun tidak pulang ke Lahat.

Aku kemudian masuk ke wilayah pembakaran batu bata. Disini, tanjakannya lumayan tinggi. Kemudian meluncur turun, untuk kemudian menanjak lagi. Manggul, begitu tulisan yang sempat kubaca di salah satu rumah warga yang jarang-jarang itu.  Begitu ada seorang warga dipinggir jalan, aku segera bertanya, dan ternyata benar, aku mengambil jalan memutar. Jalur ini lebih panjang 10 km dari jalur lama.  Kalau mau masuk lahat, diujung jalan lingkar ini harus belok ke kiri, sebab kalau belok ke kanan ke arah Gumay, atau menjauh dari Lahat.

Di kilometer sekian, kulihat ada bangunan Polsek Lahat. Nah, itu hal baru juga. Masa, Polsek ada di daerah paling pinggir begini, batinku. Setelah melewati beberapa tanjakan, di tengah hari, dengan sisa tenaga, pokoknya prinsip TDL.. Tinggal Dikit Lagi…kugenjot terus si Totti ini. Dan akhirnya, gerbang batas kota Lahat terlihat, itu berarti akhir dari jalan lingkar ini. Tinggal belok ke kiri. Dan ternyata ada tanjakan tinggi lagi…ampun dah. Kotaku ternyata seperti Tanjungkarang, banyak tanjakannya. Campur aduk antara bangga-bangga sebel. Hehe..

Kelak, dari penjelasan om Norca, barulah aku ketahui, tanjakan terakhir di pertigaan batas kota itu namanya tanjakan Air Dingin. Dan tak kuduga, ujung dari tanjakan ini adalah Dodikif. Itu semacam detasemen pendidikan pelatihan bagi infantri yang terkenal seantero Lahat. Dodikif inilah yang menjaga kota Lahat, dari ancaman begal dan semacamnya.  Maju sedikit dari Dodikif adalah Pagar Agung. Disanalah rumahku berada. Rupanya, aku pulang lewat atas, bukan lewat bawah seperti biasanya. Ya, inilah konsekuensi besar ditanah rantau dan waktu kecilnya belum sempat tuntas mengeksplorasi kotanya sendiri. Hihi…

Sampai rumah, kuucapkan salam, danyang pertama kalimenyambutku adalah ibuku. Beliau langsung berteriak kaget, “nah, ado kakak, dek…”. Dedek yang dimaksud adalah adikku yang bungsu. Disusul kemudian bapak. Segera kupeluk cium mereka berdua. Karena merekalah, tujuan gowes ini dilakukan. Ah, bapak, laki-laki tua yang usianya sudah  70 tahun dan  giginya ompong semua, karena dialah aku jadi punya nyali untuk menjadi ‘lone ranger’, mengayuh pedal sendirian dari Semarang ke Lahat.

Di hari terakhir ini, jarak tempuhnya 59 km saja. Jarak terpendek di sembilan hari perjalanan Gowes Mudik ini. Pengeluaran 20 ribu saja, cuma buat beli air minum.  ODO = 9426 km. Jarak Tempuh Etape 2 (Gowes saja) adalah 274 km. Jika ditotal, jarak tempuh seluruhnya dari Demak ke Lahat adalah 971 km. Dan jika ditambah jarak tempuh selama gowes di Lahat dan waktu pulang kembali ke Semarang (Kalideres-Cempaka Putih, Cempaka Putih-Rawamangun, Krapyak-Tembalang), jarak totalnya adalah 1045 km,  atau pembulatan jadi 1000 km! Seribu kilo sudah jarak yang kutempuh dalam Gowes Mudik 2015 ini. Alhamdulillah.

Tanjung Enim-Lahat

(11) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-8, Baturaja-Tanjung Enim



Pukul 05.30 pagi, aku meninggalkan stasiun Baturaja. Pagi itu, ada 3 orang petugas di stasiun yang berjaga, satu di ruang kontrol, 2 orang lagi petugas kebersihan. Aku berpamitan kepada mereka. Stasiun Baturaja ini letaknya tidak persis di kota Baturaja, melainkan di Baturaja Barat, dan tidak dilewati oleh jalur trans Sumatera. Sehingga aku harus mengayuh sekitar 10 km untuk dapat bertemu dengan jalur utama trans Sumatera arah ke Muara Enim. 

Sesaat sebelum dirangkai kembali, di stasiun Baturaja
sudah dirakit kembali, siap lanjut!

Pagi itu, suasana masih sepi, jalanan basah, pertanda tadi malam turun hujan. Baunya khas sekali. Anjing-anjing milik warga, berkeliaran di dekat rumah. Itu ciri khas pemandangan kampung Baturaja dan Sumsel pada umumnya di sepanjang jalur trans Sumatra. Tidak perlu takut, karena anjing itu tidak menggonggong, tidak pula mengejar. Anjing-anjing itu sudah terlatih untuk menemani pemiliknya ke kebon/hutan, atau berburu babi hutan. Di hutan barulah mereka menggonggong. Di rumah, mereka sudah seperti anak angkat, dan menjadi anggota keluarga. Sayangnya, di ruas jalan ini aku sempat melihat ada anjing yang sepertinya terlindas mobil/bus. Kasihan sekali. 

Disisi kiri jalan ini mengalir sebuah sungai, sepertinya salah satu cabang sungai Ogan atau Komering, karena pada dasarnya Baturaja adalah ibukota dari kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Airnya coklat, pertanda membawa sedimen tinggi, hasil dari hujan semalam. Biasanya, kalau tak hujan, airnya bening. Seperti sungai Lematang di tempatku, sungai ini masih menjadi andalan warga untuk kebutuhan MCK.  Di jalan ini, sering kulihat, warga yang baru saja mentas mandi pagi dari sungai, dengan handuk yang masih melilit di tubuh. 

Setelah itu, barulah jalan ini bersatu dengan jalan trans Sumatera. Tandanya adalah adanya kehadiran mobil-mobil milik pemudik yang berlalu lalang. Kebanyakan pelat mereka selain BG, adalah B, BE, BD, BH, BA. Jika mengarah ke Muara Enim, itu mobil-mobil sumatera yang mudik dengan tujuan Bengkulu, Jambi, dan Padang.  Berkali-kali aku diselip oleh konvoi mobil yang diberi nomor bertuliskan “Mudik Basamo”.  Diantara mereka, ada yang sampai membuka kap mobil dan mengacungkan jempol. Dan kubalas dengan jempol pula.

Daerah yang kulewati adalah, Penengahan, lalu  Pengandonan. Aku sempat beristirahat disini, dipinggir sebuah sungai, sekitar pukul 10.00 WIB untuk sarapan pagi.  Aku memang berniat tidak berpuasa hari itu. Jumlah warung makan di jalur trans Sumatera jauh lebih sedikit daripada jalur Pantura jawa. Tapi, dalam urusan menghormati bulan ramadhan, etika pemilik warung makan di Jawa dengan Sumatera jauh berbeda. Di Sumatera, sulit mendapatkan warung makan yang terbuka lebar, rata-rata warung tertutup kain. Entah itu warung Padang, warung Tegal, maupun warung milik pribumi. Karena itu, di sebuah warung kecil, aku sempat berhenti untuk membeli Energen sereal dan biskuit. Tidak dimakan disana, tapi dipinggir sungai yang agak keluar dari jalan raya.
Ruas jalan di Baturaja Barat, masih basah karena hujan semalam

Kepada warga yang kebetulan ada disana,  aku minta izin untuk beristirahat, yang dengan hangat dipersilahkannya. Maka, kubuka salah satu pannier. Menggelar matras, membuka nesting, memasang gas dan menyalakannya di atas kompor kecil. Menuangkan air mineral kedalamnya, dan kemudian, sereal plus biskuit ke atasnya setelah agakmendidih. Itu menu sarapan pagi kita. Cukuplah sebagai sumber karbohidrat hingga jelang tengah hari nanti.
Sarapan pagi di pinggir sungai

Ada yang menarik, di jalur ini, banyak sekali lapak-lapak kecil. Bukan berjualan makanan atau minuman sepertilazimnya lapak di pinggir jalan di Pulau Jawa, melainkan berjualan bahan batu akik. Yang kulihat, tulisan yang cukup besar, adalah “Dijual, Lavender dan Spiritus, khas Baturaja”. Bahkan ada yang berani menulis harganya Rp 5.000. Entah itu 5000 perbiji atau perkilo. Aku tidak cukup berminat untuk berhenti menanyakannya.

Di jalur Pengandonan, banyak sekali pemanadangan yang bagus, dimana jalan raya berhimpitan dengan sungai Ogan. Betah rasanya menggowes di trans Sumatera yang indah pemandangannya. Serasa jadi turis beneran. Hehe… Namun, sayangnya, jalan yang rusak juga ada di Pengandonan. Cukup panjang. Mungkin ada 5 km, jalan berlubang, ditengah desa lagi. 
Salah satu view di Pengandonan, Baturaja
View favoritku di Etape 2... jalan air dan jalan darat berdampingan

Selepas Pengandonan, masuk ke Sugihwaras. Jalan relatif membaik, namun menjadi sangat dinamis, naik turun dan kanan kiri hutan.  Aku berhenti di salah satu masjid saat tengah hari di ruas jalan ini. Sesaat sebelum kemudian masuk ke Simpang Meo. Salah satu zona Merah jalur Baturaja-Muara Enim. Jalur Simpang Meo ini seperti Alas Roban kalau di Jawa Tengah, namun dengan pohon yang lebih heterogen, tanjakan yang lebih curam, dan lebih panjang. Rata-rata pemudik menghindari melewati jalan ini di saat hari mulai gelap. Alhamdulillah, ini masih tengah hari, jadi relatif lebih aman. 

Setelah tanjakan, di simpang meo ada turunan yang berkelok-kelok. Sayangnya, hendicamku sedang habis baterenya, dan aku tidak sempat mensetting kamera di handlebar. Jadi moment istimewa initidak sempat terabadikan. Saat dengan asyik meluncur turun, dikelokan kesekian, mendadak banyak orang dipinggir jalan. Rupanya, ada bus yang sedang terguling, jatuh ke jurang. Kelak di posko mudik PPK 10 Tanjung Enim, disampaikan ada 2 orang yang meninggal dunia. ‘Budak-budak’  Simpang Meo banyak berkerumun disana, mengatur lalulintas sambil menyodorkan kotak. Biasalah. Modus. Lambaian tangan dan teriakan “woi,mang…” membuatku dibiarkan lewat begitu saja oleh mereka. 

Selepas Simpang Meo, masuk ke Tanjung Agung, sekitar pukul 15.00 sore. Aku melewati warung bakso Solo. Kurem sepeda, dan mundur.  Ngebakso di jalur ini sepertinya cukup menarik. Jarang-jarang ada warung bakso Solo di sepanjang jalan yang kulewati.  Sambil makan aku mengumpulkan informasi jalur. Disini sebenarnya ada jalur singkat ke Lahat. Jalur Semendo orang sini bilang. Tapi, mereka tidak menyarankan aku melewati jalur itu, karena sangat sepi dan rawan. Lagipula tanjakan dan turunannya lebih curam. Pendek tapi melelahkan, dan kurang aman. Aku mengangguk, percaya pada saran mereka. Ikuti saja jalur trans Sumatera hingga Muara enim lalu berbelok ke Lahat. Lebih aman.  Ya, di jalur Sumatera ini, sangat penting untuk meminta pendapat warga sekitar terhadap kondisi trek dan keamanan. Mengandalkan GPS atau peta online semata, sangat tidak disarankan. Warga memiliki pengetahuan data yang tidak dapat diberikan oleh GPS atau peta online.

Jalan Tanjung Agung lumayan panjang, melewati banyak desa, sebelum kemudian kita memasuki Tanjung Enim. Kelurahan yang terkenal akan batubara atau PT Bukit Asamnya. Tanjung Enim sebenarnya hanyalah sebuah desa atau kelurahan, kecamatannya Lawang Kidul, kabupatennya Muara Enim. Tapi, keramaiannya seperti sebuah kota. Disini ada semuanya, pertokoan, stasiun, bahkan PLTU. Sekitar pukul 17.00 aku memasuki Tanjung Enim. Suasananya ramai, maklum sebentar lagi berbuka. Orang sedang berburu menu buka puasa. 

Aku melanjutkn perjalanan, keluar Tanjung Enim. Agak terburu-buru. Bukan apa-apa,mendadak langit menggelap. Awan kumulonimbus  nampak bergulung-gulung di angkasa, ke arah tujuanku, Lahat. Firasatku mengatakan akan turun hujan. Seperti malam sebelumnya berarti, malam ini pun akan turun hujan,terutama jika melihat kumpulan awan hitam di atas langit Tanjung Enim. Padahal jarak dari kota ini  ke kotaku di atas peta manual masih 40 km lagi.

Pukul 17.45, semakin gelap. Hujan mulai rintik-rintik. Tidak kupedulikan. Masih rintik. Tapi intensitasnya semakin banyak, bukan malah berhenti. Dan akhirnya, pada menit ke sekian, hujan turun seperti ditumpahkan dari langit. Aku kehujanan. Di pinggir jalan ada tulisan posko mudik PPK 10 100 meter lagi. Maka aku berlomba dengan hujan untuk berteduh di posko mudik. Bersama denganku, melakukan hal yang sama, seorang pengendara motor, juga turut berkejaran dengan hujan, ngiyup ke posko.

Sampai di posko, penjaga posko senyum-senyum melihat kami berdua seperti habis balapan.  Kondisi lumayan basah kuyup. Alhamdulillahnya, di posko itu tersedia kopi yang dapat  diseduh dan dijual untuk umum.  Lumayan untuk menghangatkan perut. Maghrib pun datang, tapi hujan tak kunjung berkurang. 

Petugas posko mengajak berbincang, tentang  perjalanan. Aku juga mencari tahu tentang posko ini.
Posko Mudik PPK 10 Batas kota Tanjung Enim-Muara Enim-Lahat ini didirikan oleh Kementrian PU. Petugas yang berwenang sedang berada di Palembang. Sekitar 3 jam perjalanan dari posko ini. Mereka yang bertugas di posko ini adalah ‘anak buah’nya. Mereka inilah yang memasang rambu-rambu bertuliskan ” Hati-hati, Rawan Longsor”, yang banyak bertebaran sejak dari Sugihwaras hingga Tanjungenim. Salah satu diantara mereka, namanya Meki, anak muda yang paling rapi, berpakaian batik, dan sopan kalau berbicara. Meki bercerita tentang dirinya. Jalan hidupnya tidak mudah. Tapi, Meki dengan gigih menghadapinya. Meski berperawakan kecil, Meki sanggup mengoperasikan kendaraan berat milik PU yang berada dbelakang posko ini. 

Pukul 20.00, hujan tak kunjung reda. Meki menawarkan untuk menginap di posko. Hujan dan alasan keamanan membuatku tak punya pilihan lain. Nampaknya aku harus menunda keinginan untuk segera tiba di rumah sehari lagi. Besok pagi baru dilanjutkan lagi perjalanannya. Jika dipaksakan, gowes dalam kondisi  hujan, malamhari, jalan yang basah, jelas tidak kondusif buat tubuh. Akhirnya, aku menginap di posko PPK 10 ini, tepatnya di belakang posko, tempat para petugas ini beristirahat. Kelak, setelah bertemu om Norca FedPalembang di Lahat, barulah aku tahu bahwa seluruh petugas di PPK 10 ini adalah teman om Norca. Pekerjaan om Norca membuat ia sering berinteraksi bersama mereka. 

Setelah bersih-bersih diri dan sholat, pukul 21.00, aku sudah pergi tidur dalam balutan sleeping bag yang dibawakan oleh Krakatau. Inilah tidur paling awal sepanjang perjalanan hingga hari ke-8.
Bermalam di posko mudik PPK 10 Tanjung Enim,Muara Enim

Kru Posko Mudik PPK 10 Tanjung Enim

Hari ini, jarak tempuhnya adalah 117 km. Sementara pengeluaran 67.000 ribu rupiah, semuanya untuk makan dan minum. 
Baturaja-Tanjung Enim

(10) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-7, Bandarlampung-Baturaja



Karena waktu recovery yang kurang, akhirnya om Adi menyarankan untuk loading ke rute berikutnya. Disamping juga ada pertimbangan faktor keamanan menghindari Zona Merah, khususnya Bukit Kemuning di perbatasan Lampung Utara dan Baturaja. Jelang lebaran ini angka kriminalitas dalam bentuk curas atau pembegalan sedang marak di Bukit Kemuning. Sebelum  ini, pernah terjadi dua orang goweser dibegal di zona itu. Jadi, om Adi sangat menyarankan untuk dilaoding saja. Begitu juga teman-teman dari Rakata juga menyarankan hal yang sama.

Pilihannya jatuh pada kereta api. Kebetulan rumah om Adi sangat dekat dengan stasiun Tanjungkarang.  Kami kemudian meluncur ke stasiun bertanya pada CS tentang teknis membawa sepeda lewat kereta api. Ternyata tidak ada perusahaan kurir di stasiun seperti halnya di stasiun besar di Pulau jawa. Sehingga kami harus mempacking sepeda, baik di kardus atau dimasukkan kedalam tas sepeda. Dengan satu catatan lagi, harus ada izin dari petugas boarding yang bertugas hari itu. Kebetulan, petugas boardingnya ada disitu. Kami meminta kepastian, jika sudah dipacking, dapat dibawa masuk kedalam kereta.

Setelah mendapat kepastian, aku membeli tiket Sriwijaya Express atau Limex malam seharga Rp 130.000,- untuk kelas bisnis. Kereta berangkat pukul 21.00, tapi kami disarankan agar sudah berada distasiun pukul 19.00 WIB.

Keluar dari stasiun, om Adi kemudian membantuku mencari kardus sepeda di toko sepeda kenalannya. Siang itu, lalu lintas kota Tanjungkarang mendadak ramai. Orang dan kendaraan dimana-mana. Akhirnya, kami mendapatkan kardus bekas sepeda Polygon seharga Rp 25.000,- rupiah. Kardus itu kami titipkan ditoko itu, karena posisi toko itu lebih dekat ke stasiun daripada dibawa pulang ke rumah. 

Sesampai di rumah, aku segera membongkar sepeda agar dapatmasuk kedalam kardus. Membongkar ban depan, rak depan, pedal, melapisi rantai dengan kertas. Setelah itu,giliran membawa protolan sepeda itu ke toko sepeda. Karena Torino Terrain ini sepeda besi, maka mengangkatnya di belakang motor lumayan berat. Terlebih melewati lalu lintas Tanjungkarang yang padat. Kami sempat menyenggol mobil sedan  karena berhenti tiba-tiba. Keterampilanom Adi bermanuver di jalan raya, akhirnya membuat kami bisa sampai ke toko sepeda, meloading sepeda kedalam kardus, lalu langsung membawanya ke stasiun. Di stasiun, bertemu dengan kenalan om Adi yang bertugas sebagai OB. OB inilahyang nantinya akan menaikkan ke gerbong kereta.

Duhur menjelang. Kami kemudian beristirahat. Nanti sore Rakata mengundang kami buka bersama di markasnya, di Kemiling. Rencananya juga pukul 16.30 sebelumnya ada gowes bersama dulu sebelum buka. Setelah mandi dan persiapan ini itu, ternyata sudah pukul 17.00, akhirnya kami putuskan untuk berangkat ke Rakata dengan motor, karena khawatir tidak sampai waktunya bila dijangkau dengan sepeda. Dan benar saja, kami tiba disana, kira-kira 15 menit saja sebelum berbuka. 

Di Rakata, om Sirin memperkenalkanku pada om Oka, ketua Rakata beserta keluarganya yang juga goweser, juga anggota Rakata yang lain. Diantara mereka ada juga yang baru saja pulang dari Srikandi 2015 Gowes to Lombok. Rakata sendiri merupakan salah satu klub sepeda tertua di Bandarlampung yang berkarakter sepeda turing. Saat tiba disana, kulihat sepeda yang terparkir kebanyakan sepeda turing dari berbagai merek. Mulai dari Federal, Bridgstone, hingga Surly. Menurut om Adi, personel Rakata sudah kenyang pengalaman Turing, baik di pulau Sumatera maupun Pulau Jawa. Setelah berbuka dan sholat magrib, kami berpamitan pulang. Om Oka memberi kenang-kenangan stiker Rakata, yang sekarang sudah tertempel di sepeda. Kelak setelah lebaran, om Sirin dari Rakata turing hingga pegunungan Dieng dan Candi Borobudur.
Basecamp Rakata Cycling Club,Kemiling, Bandarlampung
stiker Rakata

Pukul 19.00, aku diantar om Adi ke stasiun.  Kami berpose sejenak di depan stasiun. Bantuan om Adi sangat berarti buatku. Sayang stiker Fedlampung sedang diproduksi, sehingga tidak bisa langsung di tempel di sepeda. Rencananya akan dikirim via pos. Sepeda, sudah naik ke kereta, digerbong restorasi. Untuk jasa menaikkan dan menurunkannya nanti di Baturaja aku memberi uang lelah kepada awak kereta. 
Bersama om Adi, Fedlampung di stasiun Tanjung Karang

Kereta pun kemudian meninggalkan Bandarlampung tujuan Palembang, melewati  stasiun : Kotabumi, Blambangan Umpu, Martapura, dan Baturaja. Di Baturaja, kereta berhenti agak lama, sekitar pukul 03.00 dinihari. Kulihat, kardus sepeda sudah diturunkan. Jadi aku tinggal membawa pannier depan-belakang saja. Tak lama setelah kereta berangkat, penumpang yang turun sudah keluar stasiun, suasana stasiun kembali ke aslinya, sunyi. Yang terdengar hanyalah suara gemerisik sepeda yang sedang kurangkai kembali. Pukul 04.30, sepeda berhasil dipasang kembali. Tak lama kemudian, terdengar adzan subuh.
Tiba di stasiun Baturaja

Jarak tempuh hari ini, sekitar 300 km yang ditempuh dalam waktu 6 jam dengan kereta api Limex. Biaya yang dikeluarkan Rp 130.000,- untuk tiket dan Rp 100.000,- untuk ongkos angkut.
Bandarlampung-Baturaja

Kamis, 17 Maret 2016

(9) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-6, Bakauheni-Bandarlampung



kapal Ferry mulai berjalan
ETAPE KE-2 : PULAU SUMATERA

Setelah haluan dibuka secara hidrolik, satu persatu kendaraan memasuki kapal. Motor dan sepeda di lantai 2. Pukul 11.00 kapal baru benar-benar berlayar. Di atas kapal, kumanfaatkan untuk istirahat. Matras kuambil dari sepeda dan digelar dilantai, dan kucoba untuk tidur. Yang kuingat aku orang pertama yang melakukan hal itu. Saat terbangun 1 jam kemudian, kulihat ternyata sudah banyak juga bapak-bapak melakukan hal yang sama, tergeletak tidur.

Di atas kapal, aku coba mereview perjalanan etape 1-Pulau Jawa. Alhamdulillah sejauh ini tidak ada masalah dengan kaki sebagai elemen utama dalam bersepeda. Ritme dan kecepatan sudah tepat sehingga tidak mengakibatkan pegal-pegal atau kram. Istirahat recovery juga cukup. Memang sih saat tidur di malam hari, perasaan baru saja merebahkan kepala diatas bantal tahu-tahu sudah adzan subuh. Tidurnya nyenyak sekali. Pulas, tanpa sempat bermimpi sama sekali.
Tentang ritme, Ini adalah salah satu keuntungan gowes sendirian. Kita tidak perlu menyesuaikan ritme gowes kita dengan orang lain, memperlambat atau mempercepatnya. Dalam turing jarak jauh, sejauh yang kuketahui, ritme bersepeda menentukan ketahanan dan stamina diri. Ritme itu terdiri dari putaran rpm roda/crank dan laju kecepatan sepeda. 

Intinya,secara fisik dan mental aku siap untuk etape ke-2 Pulau Sumatera. Etapepaling gelap datanya dan minim dukungan, tidak seperti di pulau Jawa. Aku sudah menyiapkan jurus jitu untuk menjaga semangat gowes di etape 2. Jurus jitu itu adalah TDL alias Tinggal Dikit Lagi. Ya, ini pulau kelahiranku, pulau Swarna Dwipa, sebutan lain untuk pulau Sumatera.  Tinggal sedikit lagi akan sampai rumah. hehe..

Pukul 13.30 kapal berlabuh. Pukul 14.00, roda sepedaku menjejakkan kaki pertamanya di pulau Sumatera.Segera, Siger bukit bakauheni menyambut  mengucap selamat datang. Dan tidak tanggung-tanggung, sambutannya berupa tanjakan tinggi dan panjang begitu hendak keluar pelabuhan bakauheni. Mantab! Jalur lurus adalah jalur Lintas Tengah, ke kiri adalah Lintas Timur. Aku pilih lurus. Lintas Tengah!
Bukit Siger di pintu keluar pelabuhan Bakauheni
Saat melalui tanjakan Bakauheni sekayuh demi sekayuh, para pemudik bermobil yang sedang istirahat di pinggir jalan menatapku dengan heran.  Tatapan yang lama-lama aku jadi terbiasa. Di puncak tanjakan pertama, aku istirahat sebentar, sambil bertanya kepada warga sekitar tentang medan dan kondisi keamanan rute ke Bandarlampung. Alhamdulillah, beliaunya cukup bijak menyemangati, bahwa tanjakannya sudah tidak banyak lagi, cuma Bakauheni ini sama Tarahan menjelang kota Bandarlampung.  Sedikit lega di hati. Padahal, setelah kulewati, tanjakannya itu ternyata ada banyak. Haha..

Hari itu, jalan masih  lengang. Belum banyak mobil pemudik atau bus yang melewati jalan itu, baik menuju Bandarlampung maupun menuju Bakauheni.  Kondisi jalan juga bagus dan halus. Berbeda sekali dengan kondisi jalan Pantura. Sehingga meskipun nanjak atau menurun, dapat meluncur dengan tenang, tidak khawatir kejeglong lubang.  Menurut peta, jarak Bakauheni-Bandarlampung itu 97 km. Tapi, kalau menurut plang di jalan, jaraknya 92 km.  Info dari om Adi dari Fedlampung, jarak itu bisa ditempuh dalam waktu 5-7 jam.  Faktanya kemudian, aku menghabiskan waktu 8 jam. Nantinya baru pukul 22.30 aku tiba di Posko Mudik Tugu Pahlawan Panjang.

Berdasarkan catatanku, tanjakan bakauheni itu setidaknya ada 4; di km 0-3, km 5, km 7, dan km 9. Yang menarik, sepanjang perjalanan, anak-anak yang melihatku segera memanggilku dengan “Turis…turis..”. Sebagian lagi berteriak, “Bule… bule…”. Selidik punya selidik, saat aku berisitirahat membeli air minum, dijelaskan bahwa hanya turis atau bule yang biasa mereka lihat naik sepeda turing di jalan itu. Mereka tidak menduga jika ada juga turis ‘ireng’ yang bisa gowes seperti itu. Waduh,masa sih ragu sama kemampuan bangsa sendiri. Tapi, rata-rata, sepanjang bakauheni-Bandarlampung, warga menunjukkan sikap respek kepada goweser jarak jauh.
Salah satu tanjakan di ruas Bakauheni-Bandarlampung
Saat berhenti di sebuah toko waralaba di Kalianda, misalnya, saat jelang magrib, staff toko bercerita bahwa dirinya belum lama ini dibegal di jalur tanjakan Bakauheni di km 5. Ia kehilangan dompet dan hape, untungnya motornya tidak diambil. Pelakunya remaja-remaja  tanggung yang naik beberapa motor. Nah, remaja-remaja ini juga aku temui dititik yang dimaksud. Pada saat aku nanjak pelan, dari belakang ada  2 sepeda motor  gaya anak-anak geng motor yang mengikuti pelan, kemudian melewati, lalu tidaklama kemudian balik lagi… Waktu itu, aku menyapa mereka, “woi, mang…”, dan mereka juga balas menyapa, bahkan ada juga yang mengacungkan jempolnya. Alhamdulillah, tidak terjadi suatu apa.

Teknik yang sama, aku gunakan juga saat nanti melewati Simpang Meo, salah satu Zona Merah di rute Baturaja-Muaraenim.  Kepada ‘budak-budak’ ini kulambaikan tangan dan kusapa lebih dahulu. Mereka rata-rata respon dan respek, dan  membiarkanku lewat.

Malam di jalur Bakauheni-Bandarlampung ini banyak gelap gulitanya. Karena itu, saran dariku untuk para goweser yanghendak menghindari malam di jalur ini adalah, kalau bisa turun dari Bakauheni jangan lebih dari pukul 09.00 pagi. Atau masuk merak pagi-pagi sekali. Karena butuh waktu 3-4 jam untuk dapat melewati selat Sunda di musim Lebaran ini. Karena aku mendarat pukul 14.00 siang, sudah pasti aku terjebak malam.  Karena itu, perlengkapan gowes malam mutlak diperlukan di jalur ini. Kegelapan itu karena kanan kiri jalan masih hutan atau kebun. Alhamdulillah, aku membawa senter SWAT dan headlight untuk pencahayaan depan, ditambah rompi skotlite dan skotlite dari pannier untuk cahaya dari belakang. Sehingga cukup aman bisa melalui kegelapan.

Disinilah bedanya, di jalur Pantura Pulau Jawa, aku berharap bus dan truk janganlah lewat. Di jalur Sumatera ini, aku malah berharap bus dan truk lewatlah segera. Hehe.. itu karena lampu mereka cukup terang menyinari jalan. Saat mobil-mobil berlalu dan gelap kembali mendera, untuk menenangkan diri aku berdoa dan membaca takbir berulang-ulang. Setelah masuk sebuah desa, barulah lampu-lampu  kembali menerangi jalan, untuk kemudian gelap kembali, setelah melewati desa itu.

Setelah melewati Kalianda, aku memasuki daerah Merak Belatung, lalu Umbulan Peponggor, dan kemudian Tarahan. Di Tarahan ini, sebenarnya ada tanjakan sekaligus turunan yang eksotik, karena pemandangan sebelah kiri jalan adalah Selat Sunda. Sayangnya, karena malam, dan gelap, aku tidak bisa menikmati pemandangan itu, dan fokus pada keamanan saat meluncur di turunan yang cukup panjang. Mungkin ada 2 km panjangnya turunan itu. Lepas dari Tarahan, masuk ke Srengsem. Setelah itu, Panjang. Di Panjang juga ada pelabuhan. Setelah pelabuhan ada tugu pahlawan yang merupakan persimpangan masuk ke kota Bandarlampung atau Tanjungkarang.

Disinilah, rekan-rekan Fedlampung menunggu. Tepatnya di sebuah posko mudik. Disana telah menunggu om Adi, dan rekan dari Rakata Cycling Club, om Sirin, juga om Rio, dan om Ichan. Setelah ngobrol sebentar, pukul 23.00, kami meluncur masuk ke kota Tanjungkarang. Jaraknya kira-kira 10 km dari Panjang.

Disambut teman-teman FedLampung di Posko Mudik
Ternyata jalan ke Tanjungkarang, ada beberapa trek nanjaknya juga. Sebenarnya tidak terlalu tinggi, tapi karena fisik sudah lelah, tanjakan itu kulalui dengan kecepatan pelan. Melihat ini, om Sirin yang saat itu menjadi sweeper menawarkan diri untuk mendorongku dari belakang. Wah, asyik juga, nanjak sambil didorong tenaga super sama sweeper.. hehe..

di Tugu Adipura Bandarlampung
Kami sempat berpose sebentar di depan hotel Novotel dan tugu Adipura sebagai ikon kota Bandarlampung. Lalu mampir di warung Padang untuk makan malam. Itu pukul 00.30 WIB.  Jadi sekaligus sebagai makan sahur.  Pukul 01.00, bersama om Sirin tiba di kediaman om Adi di dekat stasiun Tanjungkarang. Setelah bersih-bersih dan bincang-bincang sebentar,  pukul 01.30 aku tertidur. Pukul 04.00 om Adi membangunkanku untuk sahur. Malam itu, rupanya om Adi tidak tidur.
Hari ke-6 ini, jika dihitung dari Serang ke Bandarlampung, jarak tempuhnya 137 km. Biaya yang dikeluarkan Rp 24.500 untuk kapal + Rp 55.000,- untuk makan-minum, Rp 15.000 untuk pulsa perdana. Total 94.500,-
Bakauheni-Bandarlampung.