Rabu, 13 Mei 2015

Gowes 100 Km ke Goa Kiskendo, Boja-Kendal


Goa Kiskendo

Latihan gowes 100 km kali ini adalah rute Goa Kiskendo, Boja-Kendal. Letaknya sekitar 8-10 km dari Pasar Boja, tepatnya di desa Trayu, Kec. Singorojo. Selain ke Goa, tujuan keduanya adalah bertemu dengan empunya rumah yang aku tempati untuk tanda tangan akad kontrak. Jadi, gowes kali ini seperti pepatah “sekali  mengayuh pedal, dua-tiga pulau terlewati”, yaitu : melatih stamina, ke  Goa, dan Akad.

Gowes ke goa tidaklah sendiri, tapi bersama om Djoko dan om Arwin, goweser dari Bike To Work chapter Semarang. Boleh dikata, ide  rute ini bukan dariku, tapi dari Om Djoko dan teman-teman yang biasa gowes di B2W.  Di sini aku cuma partisipan saja. Ada teman lain yang sebenarnya mau ikut, tapi karena suatu hal tidak jadi ikut.

Tikum (Titik kumpul)nya adalah di Taman Pandanaran. Dari rumah, Pak Met dari Fedsemar ikut menemani hingga Tikum. Keputusan yang tepat, karena di taman ini Pak Met bertemu dengan sepeda vintage Ridge Deer. Insting bisnisnya langsung menyala. Pal Met nampak berusaha melobi si empunya sepeda.
Taman Pandanaran

Di Taman Pandanaran, sudah menunggu om Djoko dan om Arwin. Keduanya adalah peturing handal. Kami berangkat dari Tikum pukul 07.15 WIB. Om Deni dari B2W juga turut mengantar. Rencananya hingga Flyover Kalibanteng.

Pilihan rute baru ditentukan pagi itu. Tidak jadi lewat BSB, melainkan memutar lewat kaliwungu. Aku sih setuju-setuju saja. Apalagi, jalan Boja-Kaliwungu terkenal adem, karena banyak pohon jati yang besar-besar dan tua. Lagi pula tanjakannya lebih banyak. Jadi bagus buat latihan. Mirip-mirip Alas Roban-lah…
batas kota

nama buah yang jadi nama kota


Dari Tikum kami melaju ke arah barat, cukup cepat dan baru berhenti di batas kota. Tepatnya di seberang terminal Mangkang. Di sini berhenti cukup lama, karena kami memotret ikon Semarang di perbatasan Semarang-Kendal ini.

Melaju lagi, lewat jalur kota bukan lewat ringroad. Jarak terasa pendek, karena tahu-tahu sudah di Alun-alun Kaliwungu. Kami beristirahat lagi disini untuk sarapan pagi. Menunya Soto Kudus, di belakang Masjid Jami’ Kaliwungu. Jam menunjukkan puul 08.30 WIB .

Di warung soto, sempat ada seorang bapak-bapak yang mengajak ngobrol. Beliau tertarik setelah melihat sepeda kami terparkir. Hari itu, sepeda Torino Terrain biruku, Torino ‘Tolak Angin’ kuningnya om Djoko, dan seli putihnya om Arwin memang terlihat mencolok dipinggir jalan. Rupanya, beliau dulunya sempat memiliki sepeda Federal Bobcat sebelum kemudian ‘disenengi uwong’ alias hilang.

Setelah perut terisi, perjalanan dilanjutkan. Berhenti lagi sebentar di toko waralaba untuk mengisi botol air minum. Setelah itu kami lanjutkan menyusuri jalan raya Boja-Kaliwungu. Jalan raya ini, kalau dari arah Kaliwungu cenderung menanjak.  Kelebihannya adalah jalan tidak terlalu ramai, suhunya lebih dingin karena banyak pohon di kanan kirinya. Pemandangannya pun memikat. Hari itu kami disuguhi pemandangan kontras antara pohon jati yang meranggas dan langit biru.
Darupono

Di tengah ruas ini, ada cagar alam Hutan Lindung yang dikelola Perhutani. Kami sempat berhenti di Pos 26 Darupono. Kami berhenti karena tertarik dengan pemandangan hutan jati dan beberapa tenda Doom dibawahnya. Rupanya, ada anak sekolah yang sedang berkemah di sana. Pemandangannya sempat kami abadikan. Judulnya ‘biking and camping’ bukan ‘camping bike’.  Soalnya, yang ‘camping’ kan oran lain. Hehe… Tapi, kami bersepakat suatu saat akan menggelar tenda, entah di sini atau di mana…

Selepas Darupono ini, kami segera disambut oleh tanjakan tertinggi di jalur ini. Info dari om Hamid Aminuddin, namanya adalah tanjakan Sepetek. Sebelum melahap tanjakan Sepetek, ada tanjakan lagi dibawahnya. Ini seperti tanjakan pemanasan sebelum kemudian bertemu menu utamanya. Jadi, tanjakan Sepetek itu ‘maincourse’, yang ada ‘appetizer’-nya.
Tanjakan Sepetek

Ya, lumayan sedap juga tanjakannya. Kami kemudian berhenti sebentar di puncaknya, untuk mengatur nafas. Ada 10 menitan istirahatnya, sebelum kemudian perjalanan dilanjutkan. Pertigaan ke Kiskendo sudah tidak jauh lagi. Tinggal sekilo dua kilo lagi.
Plang Kiskendo

Dan kemudian, tibalah kami di pertigaan menuju Goa Kiskendo. Persis di pertigaan ini, ada toko waralaba di kiri jalan. Kami berhenti disini untuk mengisi botol minum dan men’charge’ smartphone yang sudah ketap-ketip. Cukup lama di sini,  karena menunggu ‘charge’nya agak penuh sembari ngobrol-ngobrol.

Diseberang toko ini ada warung makan yang jualan Hammock atau ayunan. Harganya lumayan murah 25 ribu rupiah. Hammocknya terbuat dari bahan yang sudah tidak terpakai alias Re-Use. Kami kemudian membeli satu. Lumayan, buat istirahat kala turing. Pengganti matras.
Pukul 11.30 WIB, kami masuk ke gerbang desa menuju Goa Kiskendo. Tinggal 3-4 km lagi kami akan sampai disana. Ada satu tanjakan disini sebelum kemudian menurun tajam dan tajam menurun lagi. Dan kemudian, kami tiba di halaman parkir Goa Kiskendo. Cyclometer sepeda menunjukkan angka 52 km di titik ini.
halaman parkir

ada 5 Goa

Goa Kiskendo, memiliki beberapa rangkaian goa. Ada 5 goa yang cukup besar : Goa Lawar, Goa Kempul, Goa Tulangan, Goa Kampret,  dan Goa Pertapaan. Di goa terbesar, ada sungai yang mengalir di dalamnya. Airnya sejuk dan lumayan bersih, walaupun tidak terlalu bening. Saat turun kesana, ada beberapa orang yang sedang berenang di sungainya. Sayangnya, seperti tempat wisata alam lainnya di pulau Jawa, banyak terdapat coretan-coretan nama orang di dinding atau dasar goa. Juga beberapa pasang remaja  yang terlihat ‘mojok’, membuat jengah siapapun yang melihatnya.

Sepeda tidak dapat turun ke bawah goa. Sepeda diparkir di depan goa paling depan yang menjadi gerbang masuk. Di sini juga ada pondok kecil untuk berteduh. Di situlah kami memarkir sepeda dan menguncinya agar aman.
Goa pintu masuk

di dalam goa

Puas menyusuri goa, kami tertarik untuk pulang melalui jalan yang berbeda. Sebelumnya, om Djoko sudah pernah datang kemari.  Namun, jalur pulangnya  hampir sama dengan jalur datangnya. Dua turunan tajamyang tadi dilalui  sekarang otomatis menjadi tanjakan yang harus ditaklukan. Dengan kondisi badan yang sudah mulai capek, dan terik tengah hari, rute ini sudah tidak menarik lagi.  Maka kami memutuskan untuk mengikuti jalur baru. Jalur ini menuju ke arah lembah. Jalur yang sama sekali belum kami ketahui, namun ujungnya dipastikan bisa mencapai Pasar Boja. Ini berdasarkan  keterangan dari ibu penjual minuman di pelataran parkir Goa, ditambah peta GPS via Sygic di smartphone.
menuju Ngarai

Tapi, keputusan kami memilih jalur yang asing itu sebenarnya adalah adanya jembatan gantung dan sungai kecil dibawahnya yang begitu eksotik di tengah-tengah ngarai atau lembah dengan hamparan sawah yang mengelilinginya. Om Arwin menyebutnya sebagai ‘Hidden Paradise’.
kita sebut saja : 'Ngarai Anak'

Maka, kami pun meluncur kesana, meluncur ke arah Ngareanak, nama desanya.
jembatan di tengah ngarai
om Arwin menyusuri jembatan

jembatan gantung

Kami segera menuju jembatan gantung, dan berlama-lama disana. Bahkan om Djoko sempat tercebur ke dalam sungai yang airnya mengalir cukup deras di beberapa sisi. Basah semua badannya, termasuk hape di dalam kantongnya. Alhamdulillah tidak sampai bikin rusak. Sholat dhuhur kami tunaikan disini, di tepi sungai.  Daerah ini, sepertinya cocok sekali jika digunakan untuk bike camping. Ketersediaan air yang melimpah, pemandangan yang mempesona, dan suhu udara yang tidak terlalu panas, sudah cukup menjadi alasan menjadikannya tempat yang bagus untuk berkemah.

Pukul 14.15 kami mulai beranjak dari sungai.  Menuju ke arah Ngareanak, atau lebih tepatnya masuk ke dalam hutan.  Jalan yang tersedia lebarnya hanya bisa untuk motor, sepeda atau jalan kaki. Jalannya terbuat dari cor beton. Dulunya mungkin cukup bagus, tapi sekarang sudah hancur disana-sini. Bahkan pada jarak ke sekian, kita disambut dengan jalur makadam. Persis dengan jalan menuju Segitiga Piramida Tanah Mas di Rowosari-Tembalang. Sehingga dibeberapa ruas jalan, terutama yang menanjak, kita terpaksa harus turun dari atas sepeda karena tidak mungkin bisa digenjot dengan sepeda rigid atau Seli.

Kurang lebih 4-5 km kami menyusuri jalalan tanah berbatu, sampai kemudian memasuki areal perkampungan, dengan jalan yang lebih rata, bahkan sekian ratus meter ada yang sudah di cor dengan beton. Kami beristirahat disini. Di rumah salah satu warga yang juga berjualan rujak dan es buah. Namanya Pak Kahono. Pak Kahono selain menanyakan darimana asal kami, juga bercerita bahwa di daerah ini sering menjadi lokasi jujukan motor trail dan juga mobil Jeep. Beliau juga membantu kami membimbing arah jalur pulang, melalui pasar Boja. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB.
jalan raya Singorojo-Boja

Kami kemudian menyusuri jalan yang ditunjukkan sebelumnya. Bertemu dengan balai desa Ngareanak, kemudian menyusuri jalan setapak PTPN di tengah hutan karet, untuk kemudian tembus ke jalan raya Boja-Singorojo. Jalur yang panjang dan lurus dengan pohon karet di kanan kirinya. Kemudian melewati Kalirejo, Kedungsari, Merbuh, dan Bebengan. Setelah Bebengan inilah, pasar Boja di depan mata.

Karena jarak terpisah yang cukup jauh. Om Arwin dan Om Djoko memutuskan untuk makan siang di warung mie ayam, dan aku baru berhenti di pasar Boja. Di salah satu kios dekat masjid kubah besar, saya menandatangani akad kontrak rumah. Tidak lama setelah itu, mereka berdua melintas, dan perjalanan pulang pun dilanjutkan.

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, saat kami keluar dari pasar Boja dan berhenti sebentar di Pom Bensin. Mulai dari sini, jalanan cenderung menurun, alias tinggal bonusnya saja. Hanya dalam 30 menit, posisi sudah sampai di pertigaan Jrakah/Ngaliyan. Terminal cangkiran, pasar Mijen, BSB, rasanya terlewat begitu saja. Di perjalanan turun ini, tanpa sengaja aku terpisah dengan om Arwin dan om Djoko. Tiga puluh menit kemudian, aku sudah sampai banjir kanal dan mampir di pombensin untuk menunaikan sholat Maghrib.
jalan raya Soegiyopranoto di waktu malam

18.15 WIB, perjalanan dilanjutkan. Lewat jalan Soegiyopranoto yang penuh lampu-lampu LED, lalu Tugumuda, dan Pandanaran yang juga terihat gemerlap. Jalanan padat merayap di hari Minggu sore ini, sehingga pengendara sepeda perlu sedikit bermanuver untuk bisa lekas sampai. Kemudian tiba di Simpang Lima, lanjut ke Majapahit, Gayamsari, dan berbelok ke Fatmawati.

Dari sini, kecepatan aku turunkan. Selain untuk pengenduran otot, juga untuk kehati-hatian karena dibeberapa ruas jalan ada lubang sementara aku tidak membawa lampu depan. Kemudian berbelok ke Ketileng dan Pasar Meteseh. Untuk selanjutnya, masuk ke perumahan Dinar Mas.
Tiba di rumah, tidak lama setelah adzan Isya. Harus segera beberes, karena pukul 20.00 WIB sudah ditunggu arisan RT bapak-bapak. Cyclo menunjukkan jarak 109 km. Sementara Endomondo Cuma bisa bertahan di 69 km. Sejak dari BSB hape sudah ‘koit’ sehingga tidak bisa men’tracking’ jalur dengan tepat.

Perjalanan hari ini, alhamdulillah, sungguh istimewa. Paling terkesan, ketika menemukan ‘Hidden Paradise’ , kemudian  menyusuri sekitar 15 km jalur trabas dari Goa Kiskendo ke Pasar Boja via Ngareanak.  Bersama teman gowes yang oke punya, perjalanan hari ini menjadi latihan yang sangat bermakna.

DATA TEKNIS
Distance : 109 km pp 
Peta Rute :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar