Kamis, 21 Mei 2015

Gowes 100 KM Semarang-Magelang pp

Tugu Nol KM Magelang
Latihan gowes turing ke-3 kali ini ke arah selatan, tepatnya ke Magelang. Di Google Maps, jarak Semarang-Magelang adalah 75 km, sehingga jika ditempuh pp jaraknya menjadi 150 km. Ternyata, setelah digowes, jarak totalnya malah mencapai 187 km.
Masih di Nol KM Magelang

Rute Magelang ini diinisiasi oleh om Djoko. Rencananya, perjalanan akan ditempuh dalam 2 hari. Menginap di rumah kakaknya om Djoko yang lama kosong. Selain nengok dan bersih-bersih rumah, perjalanan ke Magelang juga atas undangan salah satu teman Fedgethuk yang juga aktivis Onthelis. Mereka sedang menggelar acara di alun-alun magelang, dalam rangka Ultah kota itu yang ke 1109, yang diberi tajuk Magelang Tempo Doeloe.

Sebelum ke Magelang, pada hari Kamis(14/5), kami menyambut Aki-aki yang gowes Jakarta-Solo. Ada 9 orang seluruhnya. Usianya rata-rata 60 tahun ke atas. Kami menunggu sejak Kamis siang baru  sampai rumah jelang tengah malam. Jeda sehari kemudian, tepatnya hari Sabtu pagi (16/5), perjalanan ke Magelang pun dimulai. Cerita tentang Aki-aki ini mungkin akan ditulis di catatan tersendiri.

Sabtu pagi pukul 06.00 WIB, bersama om Arwin, mulai merayapi tanjakan Sigar Bencah (Sigben). Untuk perjalanan kali ini, aku membawa 2 pannier buatan lokal yang mirip Ortlieb, dengan isi separuh volume. Om Arwin, seperti biasa menggunakan seli putihnya dengan satu tas turing khas seli.

Di atas Sigben, saat istirahat, om Maryoto datang menyusul. Bertiga, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Banyumanik. Di sana, tepatnya di salah satu toko waralaba dekat Pizza Hut Banyumanik telah menunggu om Djoko, dan juga om Miko. Di sini kami berembug  menentukan jalur dan rencana kepulangan. Pulangnya, menurut rencana, esok hari, dan mampir ke walimahnya Agung di Ungaran. Om Djoko sempat cerita, di depan kami ada rombongan hybrid turing ke Kulonprogo, Jogja. Bisa jadi ketemuan di jalan.

Kami memutuskan untuk sarapan pagi lebih dulu di Sogud alias Soto Gudangan di Ungaran. Pukul 08.30, tiba di Sogud, dan menikmati sajian yang sejauh ini hanya ada di Ungaran. Dari sini, om Maryoto dan om Miko kemudian berpisah untuk kembali ke Semarang. Dan kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Magelang.

Jalur Ungaran-Bawen dominan menanjak, khususnya di Lemah Abang, Bergas, dan menjelang terminal Bawen. Diantara tanjakan-tanjakan itu, tanjakan Bawen adalah yang paling tinggi dan panjang. Tapi, setelahnya, bonus turunannya juga paling menyenangkan.

Setelah terminal Bawen, rute yang dipilih adalah masuk kota Ambarawa. Rute ini dipilih karena ada spot Museum Palagan dan Museum kereta api. Kami mendokumentasikan kedua ikon Ambarawa itu. Perubahan yang cukup mencolok ada di stasiun Ambarawa. Lebih rapi dan bersih…tapi menurutku, kesan jadulnya justru hilang.
Stasiun Ambarawa

Dari stasiun Ambarawa, kami memilih keluar melalui Jalan Lingkar Ambarawa (JLA). Pemandangan alam di JLA terlalu sayang untuk dilewatkan. Kami berhenti sebentar menjelang ujung jalan lingkar. Tepatnya sebelum jembatan dengan latar belakang gunung Telomoyo.
Jalan lingkar Ambarawa
 Duhur kemudian datang menjelang. Setelah melewati sebuah tanjakan panjang, dengan tiga trap, kami kemudian memutuskan untuk sholat di Masjid Isdiman di sebelah kanan jalan. Di masjid ini pula, kami sholat duhur pada saat  pulang ke Semarang.

Sejak dari sini, jalan menjadi lebih ramah. Lebih enak untuk untuk berkontemplasi sambil mengayuh pedal.  Inilah hakikat sebuah perjalanan. Gowes turing is not about enjoy the destination but the journey atau dengan kata lain The journey is the destination. Ya, karena terkadang sebuah perjalanan akan banyak mengajari kita banyak hal tentang  tujuan. Perjalanan itu menguatkan!


Saat  gowes ride nite bersama Pak Gunawan (65th) --saat beliau tiba di Semarang dari Pekalongan, dalam rangkaian gowes Jakarta-Solo--, beliau mengatakan bersepeda itu salah satu olahraga fisik yang sangat bagus tubuh, karena ia membuat seluruh tubuh bergerak, khususnya kaki, perut, dan tangan. Kaki yang didesain Allah sebagai alat pergerakan manusia, mustinya harus banyak digerakkan. Semakin sedikit bergerak, maka akan banyak penyakit yang berdatangan. Kaki yang bergerak, perut yang dibakar, itulah kunci menuju sehat, secara badaniyah.

Secara hati/kejiwaan, belajarlah untuk merelakan atau mengikhlaskan sesuatu. Karena saat kita mengikhlaskan sesuatu maka Allah sudah menyiapkan gantinya, yang mungkin lebih besar dari yang kita perhitungkan. Secara fikiriyah, belajarlah untuk selalu berpikir dan berprasangka positif dalam menyikapi suatu hal. Perpaduan fisik yang sehat, hati yang ikhlas, dan pikiran positif membuat penyakit tidak akan hinggap dan tetap tangguh meski umur bertambah tua. Itulah rahasia awet muda.

Ikhlaskan… hemmm, mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Sebab, kecenderungan  manusia itu suka mendapatkan dan tidak mudah melepaskan atau mengikhlaskan. Apalagi jika berada dalam posisi terdholimi..mengikhlaskan itu menjadi sesuatu yang berat. Dan berpikiran positif, ini juga bukan hal yang mudah, terutama bila sedang ada masalah dan ujian melanda. Pikiran akan jauh berkelana, tak tentu arah.

Karena itu, hal terbaik dalam perjalananan adalah membuang semua gelisah bersama kayuhan sepeda. Itu sebabnya, kata om Arwin, gowes turing itu sudah menjadi kebutuhan bagi jiwa. Kalau sudah begitu, seperti kata om Djoko tanjakan rasanya seperti Soto dengan sate kerangnya pas kita lagi lapar. Tanjakan bukan lagi kendala dalam turing, dilakoni saja.

Pemandangan terasiring sawah menghijau di Pringsurat khususnya dekat pertigaan jalur alternatif ke Temanggung sungguh menyejukkan mata. Tidak lama kemudian, setelah turunan panjang, tibalah di Secang. Kota kecil yang dulunya terkenal dengan industri sandang Patal Secang. Sejak dari sini, jalan terus menurun alias tinggal bonus saja. Kalau tidak salah cyclo menunjukkan angka 60 km. Kemudian Soropadan lalu Payaman.
Terasiring Pringsurat

Setelah Payaman, adalah kota Magelang. Kami memilih jalur arah kota. Tepatnya ke arah alun-alun kota. Rencana kami akan ashar-an di masjid alun-alun, kemudian baru masuk tengah alun-alun tempat pagelaran acaranya. Di alun-alun, kami disambut oleh om Cheng-cheng Po, nama akrab salah satu anggota Fedgethuk. Sebelum bertemu Cheng-cheng Po, kami sempat dihampiri oleh seorang goweser asal Gunung Kidul yang bekerja sebagai penarik becak di Magelang. Sampai sini, angka cyclo menunjukkan 75 km.
om Cheng-cheng Po (kiri) bersama om Arwin

Usai sholat ashar, kami segera berkeliling melihat stand-stand yang ada dipandu oleh om Cheng-cheng Po.. Om Djoko dan om Arwin tertarik dengan mas Alit. Seorang difabel tuna wicara yang pandai membuat karikatur wajah. Mereka berdua digambar wajahnya dalam posisi menunggang sepeda. Murah saja, hanya 20 ribu per wajah. Aku tertarik pada mainan tradisional dari kayu yang bisa mengeluarkan bunyi. Cukup menarik buat bayiku yang berusia 6 bulan dan alat pijat yang juga dari kayu. Semuanya dari bahan re-used. Jempol deh untuk kreativitas pembuatnya.
Keluarga Ceria

Pintar menggambar wajah
Mainan tradisional dari barang bekas
 Masih banyak stand menarik lainnya. Tapi karena maghrib sudah tiba, maka kami undur diri untuk sholat sekalian menuju rumah om Djoko di Mertoyudan. Rencananya kami akan kembali ke alun-alun, ber-ride nite, untuk mengeksplor lebih jauh acara yang diinisiasi oleh para aktivis Onthelis Magelang ini.
Menara Air Ikon Magelang

Mertoyudan adalah salah satu kecamatan di Magelang, jalurnya ke arah Jogja, kurang lebih 5 km dari alun-alun melewati Artos Mall. Saat itu lalu lintas kota sedang ramai atau memang biasanya seramai itu, tidak tahu juga. Tapi, sepertinya Magelang semakin ramai saja. Jalannya lebar, seperti jalan Majapahit di Semarang. Harus hati-hati benar jika ingin menyeberang.

Sesampai di rumah om Djoko, kami segera beberes dan bersih-bersih agar dapat digunakan untuk istirahat. Alhamdulillah sejauh ini  sepeda baik-baik saja. Tidak ada kendala teknis apapun. Setelah semuanya usai, pukul 20.00 WIB kami balik lagi ke alun-alun. Dan  sepeda kami sudah siap dengan perjalanan malam. Om Djoko dengan senter CREE-nya, om Arwin dengan rompi scotlitenya, aku dengan headlight.

Cukup lama kami di alun-alun. Makan malam dengan Sego Godhok khas Magelang dan Ronde di salah satu stand. Dan juga mengelilingi stand yang belum dikunjungi. Pukul 22.30, saat suasana semakin sepi, kami kembali ke Mertoyudan. Tengah malam, barulah kami berangkat ke peraduan. Lelap dan lelah bercampur jadi satu luruh dalam suara tidur mendengkur.

Minggu, 17 Mei 2015
Pagi, alarm berbunyi, tapi tidak terdengar adzan, karena rumah agak jauh dari masjid. Tidur terasa cepat. Perasaan baru saja merem kok sudah pagi. Setelah shubuhan dan mandi, kami packing perlengkapan yang semalam dibongkar. Rantai sepeda kulumasi lagi. Sejak dari Boja minggu kemarin, aku belum lagi membersihkan rantai sepeda ini. Pukul 07.45, kami kemudian meninggalkan Mertoyudan.

Lima belas menit kemudian kami tiba lagi di alun-alun tepatnya di tugu Nol Kilometer Magelang. Sebelum berhenti disini kamis sempat berfoto di taman sepeda di pinggir kali menjelang alun-alun. Di tugu Nol KM buatan Belanda tahun 1924 ini, ada cetakan beton yang tulisannya Semarang 75. Artinya ke Semarang masih 75 km lagi. Aduh, masih jauh ya…
Taman Sepeda

Saat berada di tugu ini, rombongan Onthelis gowes kota-kota lewat di depan kami. Gowes ini menjadi rangkaian terakhir acara yang telah digelar selama seminggu di alun-alun Magelang. Tak lama kemudian, seorang bapak-bapak dengan sepeda single speed menghampiri kami. Rupanya beliau orang Semarang yang sudah lama hijrah ke Magelang. Setelah beliau, mampir juga seorang pengendara motor yang rupanya goweser juga, pak Heri Prabowo namanya, bergabung bersama kami.

Oleh beliau, kami ditunjukkan warung makan Pak Parto yang menyediakan Sup Kacang Merah Senerek khas Magelang, tidak jauh dari alun-alun. Bahkan sarapan pagi itu ditraktiri oleh Pak Heri. Ternyata, pak Heri sudah menjadi member grup FB Federal MTBFI sejak lama. Kiosnya di Muntilan malah sering menjadi tempat main beberapa anggota Federal Jogjakarta atau Fedjo. Kata om Arwin, sarapan pagi ini adalah rezeki anak sholeh yang pertama. ^_^ Inilah yang disebut dengan Bicycle brotherhood. Tidak kenal sebelumnya, namun telah mengikhlaskan sebagian hartanya. Semoga Allah membalasnya ya pak.
Om Heri Prabowo (kaos hitam)


Setelah sarapan dan berpamitan, pukul 09.00 WIB, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan pulang ini kami tentukan ritmenya lebih cepat dibanding berangkatnya. Sebab, rencananya sebelum ashar, kami akan mampir di acara pernikahannya salah satu anggota Fedsemar, Agung. Lepas dari kota Magelang, kami segera disambut jalan yang panjang dan landai menanjak sepanjang jalur Payaman dan Secang. Dan baru sedikit dinamis di Pringsurat.

Di sawah Pringsurat, kami bertemu dengan rombongan Hybrid yang hari ini pulang dari Kulonprogo. Tapi formasinya sudah tidak beraturan. Jauh sekali jaraknya antara yang paling depan, nomor dua, dengan yang lainnya.

Tepat saat adzan Duhur kami tiba di masjid Isdiman lagi. Masjid yang berlokasi di jalan Ambarawa –Semarang ini memang strategs untuk para traveller. Tak dinyana, disini kami bertemu dengan goweser veteran yang sudah pensiun dari gowes. Beliau adalah pak Jauhari, salah satu pendiri klub sepeda SAMBA di Semarang. Kami pun berbincang tentang tips aman bersepeda. Disini kami juga bertemu dengan seorang senior lagi yang biasa B2W di kota Bekasi yang sedang berlibur menengok anaknya di Jogjakarta. Beliau juga meberikan saran-saran bagaimana bersepeda yang aman dan menyehatkan. Wah, pagi dapat sarapan gratis, siang dapat ilmu gratis. Benar-benar rezeki anak sholeh. ^_^

Jaraak tersisa tinggal 40 km lagi. Sejauh ini, alhamdulillah aku sudah menemukan ritmeku bersepeda, baik saat jalan datar, landai, nanjak, maupun turunan. Tapi, gowes kali ini berbeda, karena ada pannier di kanan kiri dengan bobot lumayan. Ada sesuatu yang berbeda saat meluncur turun. Tapi, seperti kata para senior, kamu harus yakin dan menyatu dengan sepedamu…barulah kamu akan menikmati gowes turing jarak jauh baik naik atau pun turun.

Kami sempat berhenti lagi di Pingit. Disini kami dapat rezeki anak sholeh lagi Niat hati ingin membeli pisang, oleh penjualnya yang baik hati, kami malah diberi pisang secara cuma-cuma. Disini juga kami bertemu dengan seorang goweser B2W Semarang yang sedang pulkam dan hendak kembali ke Semarang. Namanya David kalau tidak salah.
Tanjakan batas kota Pringsurat-Bedono

Setelah Pingit, kami melewati Bedono,  Kopi Eva, lalu Jambu. Setelah ini, jalanan sudah menjadi bonus saja. Yang paling menantang adalah saat turun di turunan letter S Jambu. Meliuk-liuk diantara antrian mobil, truk, dan bus. Peluit dari Om taufik dan bel sepeda tak henti berbunyi. Untuk memberi tanda kepada pengendara akan keberadaan kami di sisi kiri mereka. Wuuzzzz… hampir sedikit lagi kepala kena spion…hehe…
Kopi Eva
Dan tidak terasa kami sudah berada di Ambarawa lagi. Kami memilih arah kota lagi. Untuk satu alasan. Serabi di Nampin.. Kata om Djoko, terlalu sayang dilewatkan. Akhirnya, uang Semarang baru laku disini. Hehe…
Serabi Nampin
Setelah itu Bawen. Dan setelah melewati tanjakan Bawen, jalan isinya bonus lagi. Sekitar pukul 15.00 WIB, kami sampai di Ungaran. Kami segera menuju Mojo, Susukan. Tempat walimahan Agung digelar. Aku sebenarnya membawa batik lengkap dengan celana hitam. Tapi berhubung om Djoko tidak membawa, akhirnya tik itu tidak jadi kukenakan. Kami ke acara walimahan dengan pakaian gowes. Aku yakin tidak akan jadi masalah. Karena Agung dan ayahnya adalah goweser. Foto preweedingnya saja bertema sepeda. Dan bahkan panggung pelaminannya ada sepedanya.

Agung menikah

Di sini, masih ada beberapa tamu. Agung menyilahkan kami menikmati sajian yang ada. Setelah berfoto dan mengucapkan selamat pada Agung, istri, dan keluarganya, kamipun berpamitan. Wah, Agung beruntung sekali, mendapatkan istri yang paham hobi suami. Seminggu setelah ini, mungkin Agung langsung turing ke Jogja. Wkwkwk…

Pukul 16.00, posisi sudah berada di atas Pudakpayung. Turun dari Watugong, kami berpisah. Om Arwin dan om Djoko lewat Gombel, aku belok kanan ke arah Sigarbencah. Setengah jam kemudian aku sudah berada di rumah, home sweet home. Dani dan Abiyyu, seperti biasa sedang bermain layang-layang. Hamzah tidur habis dimandikan. Tinggal istri yang dengan senang hati membongkar oleh-oleh yang kubawakan, Getuk Trio khas Magelang. Kuperiksa jeruji, alhamdulillah tidak ada yang patah. Cek cyclo, total jarak 187 km. Alhamdulillah.

Aku bersyukur, untuk perjalanan hari ini. Sehat wal’afiat tidak kurang suatu apa. Senin siap bekerja seperti biasa. ^_^

DATA TEKNIS
Jarak Tempuh : 187 km pp
Peta Rute :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar