Kamis, 21 Mei 2015

Gowes 100 KM Semarang-Magelang pp

Tugu Nol KM Magelang
Latihan gowes turing ke-3 kali ini ke arah selatan, tepatnya ke Magelang. Di Google Maps, jarak Semarang-Magelang adalah 75 km, sehingga jika ditempuh pp jaraknya menjadi 150 km. Ternyata, setelah digowes, jarak totalnya malah mencapai 187 km.
Masih di Nol KM Magelang

Rute Magelang ini diinisiasi oleh om Djoko. Rencananya, perjalanan akan ditempuh dalam 2 hari. Menginap di rumah kakaknya om Djoko yang lama kosong. Selain nengok dan bersih-bersih rumah, perjalanan ke Magelang juga atas undangan salah satu teman Fedgethuk yang juga aktivis Onthelis. Mereka sedang menggelar acara di alun-alun magelang, dalam rangka Ultah kota itu yang ke 1109, yang diberi tajuk Magelang Tempo Doeloe.

Sebelum ke Magelang, pada hari Kamis(14/5), kami menyambut Aki-aki yang gowes Jakarta-Solo. Ada 9 orang seluruhnya. Usianya rata-rata 60 tahun ke atas. Kami menunggu sejak Kamis siang baru  sampai rumah jelang tengah malam. Jeda sehari kemudian, tepatnya hari Sabtu pagi (16/5), perjalanan ke Magelang pun dimulai. Cerita tentang Aki-aki ini mungkin akan ditulis di catatan tersendiri.

Sabtu pagi pukul 06.00 WIB, bersama om Arwin, mulai merayapi tanjakan Sigar Bencah (Sigben). Untuk perjalanan kali ini, aku membawa 2 pannier buatan lokal yang mirip Ortlieb, dengan isi separuh volume. Om Arwin, seperti biasa menggunakan seli putihnya dengan satu tas turing khas seli.

Di atas Sigben, saat istirahat, om Maryoto datang menyusul. Bertiga, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Banyumanik. Di sana, tepatnya di salah satu toko waralaba dekat Pizza Hut Banyumanik telah menunggu om Djoko, dan juga om Miko. Di sini kami berembug  menentukan jalur dan rencana kepulangan. Pulangnya, menurut rencana, esok hari, dan mampir ke walimahnya Agung di Ungaran. Om Djoko sempat cerita, di depan kami ada rombongan hybrid turing ke Kulonprogo, Jogja. Bisa jadi ketemuan di jalan.

Kami memutuskan untuk sarapan pagi lebih dulu di Sogud alias Soto Gudangan di Ungaran. Pukul 08.30, tiba di Sogud, dan menikmati sajian yang sejauh ini hanya ada di Ungaran. Dari sini, om Maryoto dan om Miko kemudian berpisah untuk kembali ke Semarang. Dan kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Magelang.

Jalur Ungaran-Bawen dominan menanjak, khususnya di Lemah Abang, Bergas, dan menjelang terminal Bawen. Diantara tanjakan-tanjakan itu, tanjakan Bawen adalah yang paling tinggi dan panjang. Tapi, setelahnya, bonus turunannya juga paling menyenangkan.

Setelah terminal Bawen, rute yang dipilih adalah masuk kota Ambarawa. Rute ini dipilih karena ada spot Museum Palagan dan Museum kereta api. Kami mendokumentasikan kedua ikon Ambarawa itu. Perubahan yang cukup mencolok ada di stasiun Ambarawa. Lebih rapi dan bersih…tapi menurutku, kesan jadulnya justru hilang.
Stasiun Ambarawa

Dari stasiun Ambarawa, kami memilih keluar melalui Jalan Lingkar Ambarawa (JLA). Pemandangan alam di JLA terlalu sayang untuk dilewatkan. Kami berhenti sebentar menjelang ujung jalan lingkar. Tepatnya sebelum jembatan dengan latar belakang gunung Telomoyo.
Jalan lingkar Ambarawa
 Duhur kemudian datang menjelang. Setelah melewati sebuah tanjakan panjang, dengan tiga trap, kami kemudian memutuskan untuk sholat di Masjid Isdiman di sebelah kanan jalan. Di masjid ini pula, kami sholat duhur pada saat  pulang ke Semarang.

Sejak dari sini, jalan menjadi lebih ramah. Lebih enak untuk untuk berkontemplasi sambil mengayuh pedal.  Inilah hakikat sebuah perjalanan. Gowes turing is not about enjoy the destination but the journey atau dengan kata lain The journey is the destination. Ya, karena terkadang sebuah perjalanan akan banyak mengajari kita banyak hal tentang  tujuan. Perjalanan itu menguatkan!


Saat  gowes ride nite bersama Pak Gunawan (65th) --saat beliau tiba di Semarang dari Pekalongan, dalam rangkaian gowes Jakarta-Solo--, beliau mengatakan bersepeda itu salah satu olahraga fisik yang sangat bagus tubuh, karena ia membuat seluruh tubuh bergerak, khususnya kaki, perut, dan tangan. Kaki yang didesain Allah sebagai alat pergerakan manusia, mustinya harus banyak digerakkan. Semakin sedikit bergerak, maka akan banyak penyakit yang berdatangan. Kaki yang bergerak, perut yang dibakar, itulah kunci menuju sehat, secara badaniyah.

Secara hati/kejiwaan, belajarlah untuk merelakan atau mengikhlaskan sesuatu. Karena saat kita mengikhlaskan sesuatu maka Allah sudah menyiapkan gantinya, yang mungkin lebih besar dari yang kita perhitungkan. Secara fikiriyah, belajarlah untuk selalu berpikir dan berprasangka positif dalam menyikapi suatu hal. Perpaduan fisik yang sehat, hati yang ikhlas, dan pikiran positif membuat penyakit tidak akan hinggap dan tetap tangguh meski umur bertambah tua. Itulah rahasia awet muda.

Ikhlaskan… hemmm, mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Sebab, kecenderungan  manusia itu suka mendapatkan dan tidak mudah melepaskan atau mengikhlaskan. Apalagi jika berada dalam posisi terdholimi..mengikhlaskan itu menjadi sesuatu yang berat. Dan berpikiran positif, ini juga bukan hal yang mudah, terutama bila sedang ada masalah dan ujian melanda. Pikiran akan jauh berkelana, tak tentu arah.

Karena itu, hal terbaik dalam perjalananan adalah membuang semua gelisah bersama kayuhan sepeda. Itu sebabnya, kata om Arwin, gowes turing itu sudah menjadi kebutuhan bagi jiwa. Kalau sudah begitu, seperti kata om Djoko tanjakan rasanya seperti Soto dengan sate kerangnya pas kita lagi lapar. Tanjakan bukan lagi kendala dalam turing, dilakoni saja.

Pemandangan terasiring sawah menghijau di Pringsurat khususnya dekat pertigaan jalur alternatif ke Temanggung sungguh menyejukkan mata. Tidak lama kemudian, setelah turunan panjang, tibalah di Secang. Kota kecil yang dulunya terkenal dengan industri sandang Patal Secang. Sejak dari sini, jalan terus menurun alias tinggal bonus saja. Kalau tidak salah cyclo menunjukkan angka 60 km. Kemudian Soropadan lalu Payaman.
Terasiring Pringsurat

Setelah Payaman, adalah kota Magelang. Kami memilih jalur arah kota. Tepatnya ke arah alun-alun kota. Rencana kami akan ashar-an di masjid alun-alun, kemudian baru masuk tengah alun-alun tempat pagelaran acaranya. Di alun-alun, kami disambut oleh om Cheng-cheng Po, nama akrab salah satu anggota Fedgethuk. Sebelum bertemu Cheng-cheng Po, kami sempat dihampiri oleh seorang goweser asal Gunung Kidul yang bekerja sebagai penarik becak di Magelang. Sampai sini, angka cyclo menunjukkan 75 km.
om Cheng-cheng Po (kiri) bersama om Arwin

Usai sholat ashar, kami segera berkeliling melihat stand-stand yang ada dipandu oleh om Cheng-cheng Po.. Om Djoko dan om Arwin tertarik dengan mas Alit. Seorang difabel tuna wicara yang pandai membuat karikatur wajah. Mereka berdua digambar wajahnya dalam posisi menunggang sepeda. Murah saja, hanya 20 ribu per wajah. Aku tertarik pada mainan tradisional dari kayu yang bisa mengeluarkan bunyi. Cukup menarik buat bayiku yang berusia 6 bulan dan alat pijat yang juga dari kayu. Semuanya dari bahan re-used. Jempol deh untuk kreativitas pembuatnya.
Keluarga Ceria

Pintar menggambar wajah
Mainan tradisional dari barang bekas
 Masih banyak stand menarik lainnya. Tapi karena maghrib sudah tiba, maka kami undur diri untuk sholat sekalian menuju rumah om Djoko di Mertoyudan. Rencananya kami akan kembali ke alun-alun, ber-ride nite, untuk mengeksplor lebih jauh acara yang diinisiasi oleh para aktivis Onthelis Magelang ini.
Menara Air Ikon Magelang

Mertoyudan adalah salah satu kecamatan di Magelang, jalurnya ke arah Jogja, kurang lebih 5 km dari alun-alun melewati Artos Mall. Saat itu lalu lintas kota sedang ramai atau memang biasanya seramai itu, tidak tahu juga. Tapi, sepertinya Magelang semakin ramai saja. Jalannya lebar, seperti jalan Majapahit di Semarang. Harus hati-hati benar jika ingin menyeberang.

Sesampai di rumah om Djoko, kami segera beberes dan bersih-bersih agar dapat digunakan untuk istirahat. Alhamdulillah sejauh ini  sepeda baik-baik saja. Tidak ada kendala teknis apapun. Setelah semuanya usai, pukul 20.00 WIB kami balik lagi ke alun-alun. Dan  sepeda kami sudah siap dengan perjalanan malam. Om Djoko dengan senter CREE-nya, om Arwin dengan rompi scotlitenya, aku dengan headlight.

Cukup lama kami di alun-alun. Makan malam dengan Sego Godhok khas Magelang dan Ronde di salah satu stand. Dan juga mengelilingi stand yang belum dikunjungi. Pukul 22.30, saat suasana semakin sepi, kami kembali ke Mertoyudan. Tengah malam, barulah kami berangkat ke peraduan. Lelap dan lelah bercampur jadi satu luruh dalam suara tidur mendengkur.

Minggu, 17 Mei 2015
Pagi, alarm berbunyi, tapi tidak terdengar adzan, karena rumah agak jauh dari masjid. Tidur terasa cepat. Perasaan baru saja merem kok sudah pagi. Setelah shubuhan dan mandi, kami packing perlengkapan yang semalam dibongkar. Rantai sepeda kulumasi lagi. Sejak dari Boja minggu kemarin, aku belum lagi membersihkan rantai sepeda ini. Pukul 07.45, kami kemudian meninggalkan Mertoyudan.

Lima belas menit kemudian kami tiba lagi di alun-alun tepatnya di tugu Nol Kilometer Magelang. Sebelum berhenti disini kamis sempat berfoto di taman sepeda di pinggir kali menjelang alun-alun. Di tugu Nol KM buatan Belanda tahun 1924 ini, ada cetakan beton yang tulisannya Semarang 75. Artinya ke Semarang masih 75 km lagi. Aduh, masih jauh ya…
Taman Sepeda

Saat berada di tugu ini, rombongan Onthelis gowes kota-kota lewat di depan kami. Gowes ini menjadi rangkaian terakhir acara yang telah digelar selama seminggu di alun-alun Magelang. Tak lama kemudian, seorang bapak-bapak dengan sepeda single speed menghampiri kami. Rupanya beliau orang Semarang yang sudah lama hijrah ke Magelang. Setelah beliau, mampir juga seorang pengendara motor yang rupanya goweser juga, pak Heri Prabowo namanya, bergabung bersama kami.

Oleh beliau, kami ditunjukkan warung makan Pak Parto yang menyediakan Sup Kacang Merah Senerek khas Magelang, tidak jauh dari alun-alun. Bahkan sarapan pagi itu ditraktiri oleh Pak Heri. Ternyata, pak Heri sudah menjadi member grup FB Federal MTBFI sejak lama. Kiosnya di Muntilan malah sering menjadi tempat main beberapa anggota Federal Jogjakarta atau Fedjo. Kata om Arwin, sarapan pagi ini adalah rezeki anak sholeh yang pertama. ^_^ Inilah yang disebut dengan Bicycle brotherhood. Tidak kenal sebelumnya, namun telah mengikhlaskan sebagian hartanya. Semoga Allah membalasnya ya pak.
Om Heri Prabowo (kaos hitam)


Setelah sarapan dan berpamitan, pukul 09.00 WIB, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan pulang ini kami tentukan ritmenya lebih cepat dibanding berangkatnya. Sebab, rencananya sebelum ashar, kami akan mampir di acara pernikahannya salah satu anggota Fedsemar, Agung. Lepas dari kota Magelang, kami segera disambut jalan yang panjang dan landai menanjak sepanjang jalur Payaman dan Secang. Dan baru sedikit dinamis di Pringsurat.

Di sawah Pringsurat, kami bertemu dengan rombongan Hybrid yang hari ini pulang dari Kulonprogo. Tapi formasinya sudah tidak beraturan. Jauh sekali jaraknya antara yang paling depan, nomor dua, dengan yang lainnya.

Tepat saat adzan Duhur kami tiba di masjid Isdiman lagi. Masjid yang berlokasi di jalan Ambarawa –Semarang ini memang strategs untuk para traveller. Tak dinyana, disini kami bertemu dengan goweser veteran yang sudah pensiun dari gowes. Beliau adalah pak Jauhari, salah satu pendiri klub sepeda SAMBA di Semarang. Kami pun berbincang tentang tips aman bersepeda. Disini kami juga bertemu dengan seorang senior lagi yang biasa B2W di kota Bekasi yang sedang berlibur menengok anaknya di Jogjakarta. Beliau juga meberikan saran-saran bagaimana bersepeda yang aman dan menyehatkan. Wah, pagi dapat sarapan gratis, siang dapat ilmu gratis. Benar-benar rezeki anak sholeh. ^_^

Jaraak tersisa tinggal 40 km lagi. Sejauh ini, alhamdulillah aku sudah menemukan ritmeku bersepeda, baik saat jalan datar, landai, nanjak, maupun turunan. Tapi, gowes kali ini berbeda, karena ada pannier di kanan kiri dengan bobot lumayan. Ada sesuatu yang berbeda saat meluncur turun. Tapi, seperti kata para senior, kamu harus yakin dan menyatu dengan sepedamu…barulah kamu akan menikmati gowes turing jarak jauh baik naik atau pun turun.

Kami sempat berhenti lagi di Pingit. Disini kami dapat rezeki anak sholeh lagi Niat hati ingin membeli pisang, oleh penjualnya yang baik hati, kami malah diberi pisang secara cuma-cuma. Disini juga kami bertemu dengan seorang goweser B2W Semarang yang sedang pulkam dan hendak kembali ke Semarang. Namanya David kalau tidak salah.
Tanjakan batas kota Pringsurat-Bedono

Setelah Pingit, kami melewati Bedono,  Kopi Eva, lalu Jambu. Setelah ini, jalanan sudah menjadi bonus saja. Yang paling menantang adalah saat turun di turunan letter S Jambu. Meliuk-liuk diantara antrian mobil, truk, dan bus. Peluit dari Om taufik dan bel sepeda tak henti berbunyi. Untuk memberi tanda kepada pengendara akan keberadaan kami di sisi kiri mereka. Wuuzzzz… hampir sedikit lagi kepala kena spion…hehe…
Kopi Eva
Dan tidak terasa kami sudah berada di Ambarawa lagi. Kami memilih arah kota lagi. Untuk satu alasan. Serabi di Nampin.. Kata om Djoko, terlalu sayang dilewatkan. Akhirnya, uang Semarang baru laku disini. Hehe…
Serabi Nampin
Setelah itu Bawen. Dan setelah melewati tanjakan Bawen, jalan isinya bonus lagi. Sekitar pukul 15.00 WIB, kami sampai di Ungaran. Kami segera menuju Mojo, Susukan. Tempat walimahan Agung digelar. Aku sebenarnya membawa batik lengkap dengan celana hitam. Tapi berhubung om Djoko tidak membawa, akhirnya tik itu tidak jadi kukenakan. Kami ke acara walimahan dengan pakaian gowes. Aku yakin tidak akan jadi masalah. Karena Agung dan ayahnya adalah goweser. Foto preweedingnya saja bertema sepeda. Dan bahkan panggung pelaminannya ada sepedanya.

Agung menikah

Di sini, masih ada beberapa tamu. Agung menyilahkan kami menikmati sajian yang ada. Setelah berfoto dan mengucapkan selamat pada Agung, istri, dan keluarganya, kamipun berpamitan. Wah, Agung beruntung sekali, mendapatkan istri yang paham hobi suami. Seminggu setelah ini, mungkin Agung langsung turing ke Jogja. Wkwkwk…

Pukul 16.00, posisi sudah berada di atas Pudakpayung. Turun dari Watugong, kami berpisah. Om Arwin dan om Djoko lewat Gombel, aku belok kanan ke arah Sigarbencah. Setengah jam kemudian aku sudah berada di rumah, home sweet home. Dani dan Abiyyu, seperti biasa sedang bermain layang-layang. Hamzah tidur habis dimandikan. Tinggal istri yang dengan senang hati membongkar oleh-oleh yang kubawakan, Getuk Trio khas Magelang. Kuperiksa jeruji, alhamdulillah tidak ada yang patah. Cek cyclo, total jarak 187 km. Alhamdulillah.

Aku bersyukur, untuk perjalanan hari ini. Sehat wal’afiat tidak kurang suatu apa. Senin siap bekerja seperti biasa. ^_^

DATA TEKNIS
Jarak Tempuh : 187 km pp
Peta Rute :


Jumat, 15 Mei 2015

Menyambut Aki-aki Gowes Turing Jakarta-Solo


Menunggu di Kalibanteng
Sebagai kota yang letaknya ditengah-tengah pulau Jawa, Semarang seringkali menjadi kota perlintasan bagi para peturing. Baik dari arah Jakarta menuju Solo atau Surabaya, bahkan Jogjakarta, dan juga sebaliknya.

Kali ini, grup FB MTBFI menyiarkan bahwa akan ada sekelompok aki-aki pensiunan berusia diatas 60 tahun yang Gowes Turing dari Jakarta ke Solo. Awalnya rute yang direncanakan tidak melewati Semarang, melainkan melalui jalur selatan, yaitu Purwokerto-Purworejo-JOgja-solo. Tapi dalam perkembangannya, rutenya berubah, yaitu melewati Semarang. Atau dengan kata lain menyusuri Pantura. Pertimbangannya tentu, jalur Semarang akan lebih 'ramah' bagi aki-aki itu daripada jalur selatan yang banyak tanjakannya.

keluarga Fedsemar segera bersiap-siap menyambut. Meskipun  tidak kenal sebelumnya dengan aki-aki itu, tapi rasa persaudaraan sesama goweser, terlebih kepada para veteran, membuat teman-teman bersemangat menyambut. Om Taufiq segera mencolek beberapa teman yang sekiranya memiliki keluangan waktu, diantaranya yang bisa : om Djoko, om Hercules dan aku. Dalam perkembangannya, jumlahnya bertambah karena turut bergabung om Arwin dan om Djumiko. Om Yudi juga menyiapkan rumahnya sebagai tempat istirahat, jikalau aki-aki itu perlu menginap di Semarang.
Tim Penyambut

Hari itu hari libur, Kamis (14/5). Sehingga, beberapa teman tadi sudah berada di jalan sejak pagi. Aku baru bisa bergabung dengan mereka sekitar ba'da dhuhur. Tikumnya di tokonya Mbak Yati di jalan Hasanuddin. Om Hercules yang semula sudah berada di Kalibanteng, meluncur juga ke Mbak Yati. Menjelang pukul 3 sore, barulah kami berlima menuju Kalibanteng via arteri untuk menyambut aki-aki.

Tidak lama, kami memperoleh kabar, bahwa salah seorang diantara aki-aki itu malah sudah sampai Krapyak...karena diloading dengan bus. Sakit, kondisinya. Kami segera bergerak ke Krapyak. Kebetulan kami belum ashar-an, sehingga kami memarkirkan sepeda di masjid Krapyak, dekat pintu keluar tol. Tak disangka, justru di masjid itulah pak Basuki, nama aki itu, bertemu dnegan kami.

Pak Basuki kemudian menceritakan pengalamannya. Termasuk saat terjatuh di ruang wudhu. Kena kepala. Juga penyebab beliau loading, yaitu kondisi fisiknya yang drop saat nanjak di alas roban sehingga tertinggal jauh dari rombongan. Kami coba menelaah sepeda beliau. Ternyata roadbike dengan crank besar dan sproket belakang yang terlalu kecil. Pantesan...^_^ Pasti butuh energi besar sekali untuk bisa melalui tanjakan dengan sproket belakang terbesar ukurannya sekitar 18 teeth. KOmbinasi seperti itu hanya bagus di jalanan datar atau menurun, tapi tidak untuk jalur nanjak.

Kami pun berbincang-bincang dengan beliau tentang suka duka gowes di jalan raya. "Pusingnya sudah hilang. Jadi semangat lagi", kata pak Basuki melihat antusias kami menimpali cerita beliau.
pak Basuki nyampe duluan

Info masuk dari Pak Dadang, yang menjadi jubir aki-aki itu, rombongan sudah masuk Kendal, dan berhenti untuk menunaikan sholat ashar. Menurut dugaan kami, dengan trek menurun Mangkang-Krapyak, pukul 5 sore rombongan akan tiba di Semarang. Ternyata, agak meleset, adzan Isya mereka semua baru bermunculan. Kata pak Dadang, "harus sabar, karena yang gowes aki-aki... kecepatannya 13-15 km/jam... hehe....". Ya, diantara mereka ada yang telah berumur 69 tahun, rata-rata  63 tahun. Hanya ada satu yang paling muda, usianya 40an.

Rombongan aki-aki ternyata berjumlah 9 orang, dengan 1 orang diantaranya berperan sebagai dokumentator, dan mengendarai Vespa, sekaligus juga sebagai sweeper. Alat dokumentasinya kamera digital dan kamera video  GoPro. Kelak di rumah om Yudi, kami diperihatkan sekilas hasil dokumentasi Pak Gupuh, nama beliau, merekam perjalanan aki-aki itu dari atas Vespanya. Wah, bagus banget hasilnya...

Om Djoko kemudian melobi kantor Dishub yang berada tidak jauh dari situ, untuk digunakan sebagai tempat istirahat dan parkir barang sebentar.  Setelah kira-kira sepeminuman teh, aki-aki pun menuju arah Simpang Lima.
istirahat di pelataran Dishub, Krapyak
Sebelum tiba di Simpang Lima, rombongan melewati Tugumuda dan Lawangsewu. Dua landmark Semarang ini pun menjadi obyek foto bersama. Setelah itu, masuk ke jalan Pandanaran dan berhenti di pelataran masjid Baiturrahman Simpang Lima, sambil menikmati hangatnya ronde yang ada di sekitar itu.
diTugu Muda
background Lawang Sewu

Puas meronde dan ngobrol-ngobrol, kami melanjutkan perjalanan ke arah Pleburan. Di salah satu tenda Penyetan sepanjang jalan Pleburan, kami kemudian menjamu aki-aki makan malam. Di Simpang Lima ini, tak lama kemudin bergabung anggota Fedsemar yang lainnya : Om Henky, om Wawan, dan om Maulvi, dan juga seorang teman om Dadang yang kebetulan sedang berada di Semarang.
me-ronde di pelataran masjid Baiturrahman

makan mlam di Pleburan

makan malam dulu ya, ki...

Usai makan malam, pukul 22.00 WIB, kami bergerak ke arah TLogosari, ke rumah om Yudi untuk istirahat. Saking asyiknya ngobrol sambil gowes dengan pak Gunawan, salah satu aki itu yang sejak dari Kalibanteng terlihat oke gowesnya, aku lupa berbelok di Lottemart atau di Supriyadi. Aku malah ambil jalur Majapahit dan baru berbelok di pertigaan Fatmawati. Jadilah, meski duluan tapi akhirnya tertinggal dari rombongan. Pak Yudi kemudian datang menyusul di depan gerbang Tlogosari.

Pukul 23.00 WIB kami berpamitan. Om Hercules malah sudah dari tadi undur dari, karena beliau paling jauh rumahnya. Di Sayung sana. Rata-rata kami, tim penyambut, tiba di rumah menjelang tengah malam. Gowes tengah malam di jalanan Semarang menjadi pengalaman sendiri bagiku dan teman-teman penyambut.

Menjelang berpisah tadi, pak Dadang mewakili aki-aki menyatakan kesalutannya atas kekompakkan Fedsemar dan terima kasih atas sambutannya yang luar biasa. Dan mendoakan semoga jalinan silahturahim atau persahabatan ini terjalin untuk selamanya.

Rombongan aki-aki kemudian positif melanjutkan perjalanan keesokan harinya menuju Solo, atau lebih tepatnya Wonogiri, dengan diloading truk. Lima hari di jalan, telah membuat beberapa diantara mereka drop kondisi badan dan mental. Rencananya, setelah tiba di Solo, barulah akan digowes menuju Wonogiri. Kelak, saat perjalanan pulang ke Jakarta, Pak Dadang dan pak GUnawan-lah yang tetap digowes melalui jalur selatan, beserta pak Gupuh dengan vespanya. Pak Dadang dengan Federal Citi Cat-nya dan pak Gunawan dengan Diamond Back-nya.
pagi di rumah om Yudi jelang keberangkatan ke Solo

Kami belajar banyak dari para senior itu. Terutama soal kekuatan  mental dan kesabaran dalam bergelut dengan suka duka perjalanan. Luar biasa!

Rabu, 13 Mei 2015

Gowes 100 Km ke Goa Kiskendo, Boja-Kendal


Goa Kiskendo

Latihan gowes 100 km kali ini adalah rute Goa Kiskendo, Boja-Kendal. Letaknya sekitar 8-10 km dari Pasar Boja, tepatnya di desa Trayu, Kec. Singorojo. Selain ke Goa, tujuan keduanya adalah bertemu dengan empunya rumah yang aku tempati untuk tanda tangan akad kontrak. Jadi, gowes kali ini seperti pepatah “sekali  mengayuh pedal, dua-tiga pulau terlewati”, yaitu : melatih stamina, ke  Goa, dan Akad.

Gowes ke goa tidaklah sendiri, tapi bersama om Djoko dan om Arwin, goweser dari Bike To Work chapter Semarang. Boleh dikata, ide  rute ini bukan dariku, tapi dari Om Djoko dan teman-teman yang biasa gowes di B2W.  Di sini aku cuma partisipan saja. Ada teman lain yang sebenarnya mau ikut, tapi karena suatu hal tidak jadi ikut.

Tikum (Titik kumpul)nya adalah di Taman Pandanaran. Dari rumah, Pak Met dari Fedsemar ikut menemani hingga Tikum. Keputusan yang tepat, karena di taman ini Pak Met bertemu dengan sepeda vintage Ridge Deer. Insting bisnisnya langsung menyala. Pal Met nampak berusaha melobi si empunya sepeda.
Taman Pandanaran

Di Taman Pandanaran, sudah menunggu om Djoko dan om Arwin. Keduanya adalah peturing handal. Kami berangkat dari Tikum pukul 07.15 WIB. Om Deni dari B2W juga turut mengantar. Rencananya hingga Flyover Kalibanteng.

Pilihan rute baru ditentukan pagi itu. Tidak jadi lewat BSB, melainkan memutar lewat kaliwungu. Aku sih setuju-setuju saja. Apalagi, jalan Boja-Kaliwungu terkenal adem, karena banyak pohon jati yang besar-besar dan tua. Lagi pula tanjakannya lebih banyak. Jadi bagus buat latihan. Mirip-mirip Alas Roban-lah…
batas kota

nama buah yang jadi nama kota


Dari Tikum kami melaju ke arah barat, cukup cepat dan baru berhenti di batas kota. Tepatnya di seberang terminal Mangkang. Di sini berhenti cukup lama, karena kami memotret ikon Semarang di perbatasan Semarang-Kendal ini.

Melaju lagi, lewat jalur kota bukan lewat ringroad. Jarak terasa pendek, karena tahu-tahu sudah di Alun-alun Kaliwungu. Kami beristirahat lagi disini untuk sarapan pagi. Menunya Soto Kudus, di belakang Masjid Jami’ Kaliwungu. Jam menunjukkan puul 08.30 WIB .

Di warung soto, sempat ada seorang bapak-bapak yang mengajak ngobrol. Beliau tertarik setelah melihat sepeda kami terparkir. Hari itu, sepeda Torino Terrain biruku, Torino ‘Tolak Angin’ kuningnya om Djoko, dan seli putihnya om Arwin memang terlihat mencolok dipinggir jalan. Rupanya, beliau dulunya sempat memiliki sepeda Federal Bobcat sebelum kemudian ‘disenengi uwong’ alias hilang.

Setelah perut terisi, perjalanan dilanjutkan. Berhenti lagi sebentar di toko waralaba untuk mengisi botol air minum. Setelah itu kami lanjutkan menyusuri jalan raya Boja-Kaliwungu. Jalan raya ini, kalau dari arah Kaliwungu cenderung menanjak.  Kelebihannya adalah jalan tidak terlalu ramai, suhunya lebih dingin karena banyak pohon di kanan kirinya. Pemandangannya pun memikat. Hari itu kami disuguhi pemandangan kontras antara pohon jati yang meranggas dan langit biru.
Darupono

Di tengah ruas ini, ada cagar alam Hutan Lindung yang dikelola Perhutani. Kami sempat berhenti di Pos 26 Darupono. Kami berhenti karena tertarik dengan pemandangan hutan jati dan beberapa tenda Doom dibawahnya. Rupanya, ada anak sekolah yang sedang berkemah di sana. Pemandangannya sempat kami abadikan. Judulnya ‘biking and camping’ bukan ‘camping bike’.  Soalnya, yang ‘camping’ kan oran lain. Hehe… Tapi, kami bersepakat suatu saat akan menggelar tenda, entah di sini atau di mana…

Selepas Darupono ini, kami segera disambut oleh tanjakan tertinggi di jalur ini. Info dari om Hamid Aminuddin, namanya adalah tanjakan Sepetek. Sebelum melahap tanjakan Sepetek, ada tanjakan lagi dibawahnya. Ini seperti tanjakan pemanasan sebelum kemudian bertemu menu utamanya. Jadi, tanjakan Sepetek itu ‘maincourse’, yang ada ‘appetizer’-nya.
Tanjakan Sepetek

Ya, lumayan sedap juga tanjakannya. Kami kemudian berhenti sebentar di puncaknya, untuk mengatur nafas. Ada 10 menitan istirahatnya, sebelum kemudian perjalanan dilanjutkan. Pertigaan ke Kiskendo sudah tidak jauh lagi. Tinggal sekilo dua kilo lagi.
Plang Kiskendo

Dan kemudian, tibalah kami di pertigaan menuju Goa Kiskendo. Persis di pertigaan ini, ada toko waralaba di kiri jalan. Kami berhenti disini untuk mengisi botol minum dan men’charge’ smartphone yang sudah ketap-ketip. Cukup lama di sini,  karena menunggu ‘charge’nya agak penuh sembari ngobrol-ngobrol.

Diseberang toko ini ada warung makan yang jualan Hammock atau ayunan. Harganya lumayan murah 25 ribu rupiah. Hammocknya terbuat dari bahan yang sudah tidak terpakai alias Re-Use. Kami kemudian membeli satu. Lumayan, buat istirahat kala turing. Pengganti matras.
Pukul 11.30 WIB, kami masuk ke gerbang desa menuju Goa Kiskendo. Tinggal 3-4 km lagi kami akan sampai disana. Ada satu tanjakan disini sebelum kemudian menurun tajam dan tajam menurun lagi. Dan kemudian, kami tiba di halaman parkir Goa Kiskendo. Cyclometer sepeda menunjukkan angka 52 km di titik ini.
halaman parkir

ada 5 Goa

Goa Kiskendo, memiliki beberapa rangkaian goa. Ada 5 goa yang cukup besar : Goa Lawar, Goa Kempul, Goa Tulangan, Goa Kampret,  dan Goa Pertapaan. Di goa terbesar, ada sungai yang mengalir di dalamnya. Airnya sejuk dan lumayan bersih, walaupun tidak terlalu bening. Saat turun kesana, ada beberapa orang yang sedang berenang di sungainya. Sayangnya, seperti tempat wisata alam lainnya di pulau Jawa, banyak terdapat coretan-coretan nama orang di dinding atau dasar goa. Juga beberapa pasang remaja  yang terlihat ‘mojok’, membuat jengah siapapun yang melihatnya.

Sepeda tidak dapat turun ke bawah goa. Sepeda diparkir di depan goa paling depan yang menjadi gerbang masuk. Di sini juga ada pondok kecil untuk berteduh. Di situlah kami memarkir sepeda dan menguncinya agar aman.
Goa pintu masuk

di dalam goa

Puas menyusuri goa, kami tertarik untuk pulang melalui jalan yang berbeda. Sebelumnya, om Djoko sudah pernah datang kemari.  Namun, jalur pulangnya  hampir sama dengan jalur datangnya. Dua turunan tajamyang tadi dilalui  sekarang otomatis menjadi tanjakan yang harus ditaklukan. Dengan kondisi badan yang sudah mulai capek, dan terik tengah hari, rute ini sudah tidak menarik lagi.  Maka kami memutuskan untuk mengikuti jalur baru. Jalur ini menuju ke arah lembah. Jalur yang sama sekali belum kami ketahui, namun ujungnya dipastikan bisa mencapai Pasar Boja. Ini berdasarkan  keterangan dari ibu penjual minuman di pelataran parkir Goa, ditambah peta GPS via Sygic di smartphone.
menuju Ngarai

Tapi, keputusan kami memilih jalur yang asing itu sebenarnya adalah adanya jembatan gantung dan sungai kecil dibawahnya yang begitu eksotik di tengah-tengah ngarai atau lembah dengan hamparan sawah yang mengelilinginya. Om Arwin menyebutnya sebagai ‘Hidden Paradise’.
kita sebut saja : 'Ngarai Anak'

Maka, kami pun meluncur kesana, meluncur ke arah Ngareanak, nama desanya.
jembatan di tengah ngarai
om Arwin menyusuri jembatan

jembatan gantung

Kami segera menuju jembatan gantung, dan berlama-lama disana. Bahkan om Djoko sempat tercebur ke dalam sungai yang airnya mengalir cukup deras di beberapa sisi. Basah semua badannya, termasuk hape di dalam kantongnya. Alhamdulillah tidak sampai bikin rusak. Sholat dhuhur kami tunaikan disini, di tepi sungai.  Daerah ini, sepertinya cocok sekali jika digunakan untuk bike camping. Ketersediaan air yang melimpah, pemandangan yang mempesona, dan suhu udara yang tidak terlalu panas, sudah cukup menjadi alasan menjadikannya tempat yang bagus untuk berkemah.

Pukul 14.15 kami mulai beranjak dari sungai.  Menuju ke arah Ngareanak, atau lebih tepatnya masuk ke dalam hutan.  Jalan yang tersedia lebarnya hanya bisa untuk motor, sepeda atau jalan kaki. Jalannya terbuat dari cor beton. Dulunya mungkin cukup bagus, tapi sekarang sudah hancur disana-sini. Bahkan pada jarak ke sekian, kita disambut dengan jalur makadam. Persis dengan jalan menuju Segitiga Piramida Tanah Mas di Rowosari-Tembalang. Sehingga dibeberapa ruas jalan, terutama yang menanjak, kita terpaksa harus turun dari atas sepeda karena tidak mungkin bisa digenjot dengan sepeda rigid atau Seli.

Kurang lebih 4-5 km kami menyusuri jalalan tanah berbatu, sampai kemudian memasuki areal perkampungan, dengan jalan yang lebih rata, bahkan sekian ratus meter ada yang sudah di cor dengan beton. Kami beristirahat disini. Di rumah salah satu warga yang juga berjualan rujak dan es buah. Namanya Pak Kahono. Pak Kahono selain menanyakan darimana asal kami, juga bercerita bahwa di daerah ini sering menjadi lokasi jujukan motor trail dan juga mobil Jeep. Beliau juga membantu kami membimbing arah jalur pulang, melalui pasar Boja. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB.
jalan raya Singorojo-Boja

Kami kemudian menyusuri jalan yang ditunjukkan sebelumnya. Bertemu dengan balai desa Ngareanak, kemudian menyusuri jalan setapak PTPN di tengah hutan karet, untuk kemudian tembus ke jalan raya Boja-Singorojo. Jalur yang panjang dan lurus dengan pohon karet di kanan kirinya. Kemudian melewati Kalirejo, Kedungsari, Merbuh, dan Bebengan. Setelah Bebengan inilah, pasar Boja di depan mata.

Karena jarak terpisah yang cukup jauh. Om Arwin dan Om Djoko memutuskan untuk makan siang di warung mie ayam, dan aku baru berhenti di pasar Boja. Di salah satu kios dekat masjid kubah besar, saya menandatangani akad kontrak rumah. Tidak lama setelah itu, mereka berdua melintas, dan perjalanan pulang pun dilanjutkan.

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, saat kami keluar dari pasar Boja dan berhenti sebentar di Pom Bensin. Mulai dari sini, jalanan cenderung menurun, alias tinggal bonusnya saja. Hanya dalam 30 menit, posisi sudah sampai di pertigaan Jrakah/Ngaliyan. Terminal cangkiran, pasar Mijen, BSB, rasanya terlewat begitu saja. Di perjalanan turun ini, tanpa sengaja aku terpisah dengan om Arwin dan om Djoko. Tiga puluh menit kemudian, aku sudah sampai banjir kanal dan mampir di pombensin untuk menunaikan sholat Maghrib.
jalan raya Soegiyopranoto di waktu malam

18.15 WIB, perjalanan dilanjutkan. Lewat jalan Soegiyopranoto yang penuh lampu-lampu LED, lalu Tugumuda, dan Pandanaran yang juga terihat gemerlap. Jalanan padat merayap di hari Minggu sore ini, sehingga pengendara sepeda perlu sedikit bermanuver untuk bisa lekas sampai. Kemudian tiba di Simpang Lima, lanjut ke Majapahit, Gayamsari, dan berbelok ke Fatmawati.

Dari sini, kecepatan aku turunkan. Selain untuk pengenduran otot, juga untuk kehati-hatian karena dibeberapa ruas jalan ada lubang sementara aku tidak membawa lampu depan. Kemudian berbelok ke Ketileng dan Pasar Meteseh. Untuk selanjutnya, masuk ke perumahan Dinar Mas.
Tiba di rumah, tidak lama setelah adzan Isya. Harus segera beberes, karena pukul 20.00 WIB sudah ditunggu arisan RT bapak-bapak. Cyclo menunjukkan jarak 109 km. Sementara Endomondo Cuma bisa bertahan di 69 km. Sejak dari BSB hape sudah ‘koit’ sehingga tidak bisa men’tracking’ jalur dengan tepat.

Perjalanan hari ini, alhamdulillah, sungguh istimewa. Paling terkesan, ketika menemukan ‘Hidden Paradise’ , kemudian  menyusuri sekitar 15 km jalur trabas dari Goa Kiskendo ke Pasar Boja via Ngareanak.  Bersama teman gowes yang oke punya, perjalanan hari ini menjadi latihan yang sangat bermakna.

DATA TEKNIS
Distance : 109 km pp 
Peta Rute :