Selasa, 15 Maret 2016

(4) Gowes Mudik 2015 Semarang-Lahat : Hari ke-2, Pemalang-Cirebon

Hari kedua, diniatkan tidak berpuasa. Rukhsoh untuk musafir. Sehingga setelah sholat shubuh, om Zumachir menyediakan sarapan pagi. Pagi ini, aku sempat membersihkan rantai dan memberinya chainlube yang baru. Setelah mengabadikan moment perpisahan, tepat pukul 07.00 kulanjutkan perjalanan ke arah Pemalang.  

Di rumah om Zumachir, FedPemalang
Baru berjalan sekitar 200 meter, aku merasakan ada yang tidak beres dengan ban belakang. Lajunya agak terseok-seok. Setelah kuperiksa, ternyata spoke/jari-jarinya ada yang patah satu. Segera kupinggirkan sepeda, dan mengeluarkan spoke cadangan. Untuk gowes mudik ini aku membawa 4 buah spoke stainless cadangan. Sebelum ini, aku sudah berlatih memasang spoke tanpa harus melepas ban. Sehingga tanpa kesulitan berarti, spoke yang patah ujungnya sudah diganti dengan yang baru.


Patah ruji di Pemalang
Tak lama, aku memasuki kota Pemalang, lalu kab. Tegal. Jalan mulai bergelombang. Hari mulai panas. Batas kota Tegal juga mulai terlihat. Saat di Kramat, aku mengontak om Imuh dari FedTegal  memberitahu posisi. Om Imuh ternyata menunggu di McD kota Tegal.  Sekitar pukul 10.45 bertemu dengan om Imuh. Beliau mengajak mampir ke rumahnya. Om Imuh kulihat naik pussycat atau straycat kalau tidak salah, ada keranjangnya juga. Tidak lama disini, sekitar 30 menitan. Setelah ngobrol tentang sepeda dan petualangannya, aku berpamitan. Om Imuh mengantarkan hingga jalan raya menuju Brebes. Ternyata batas kota dengan Brebes dekat, hanya 6 km saja.
Di rumah om Imuh, FedTegal
Sekitar pukul 11.30 masuk kota Brebes. Kuputuskan untuk berhenti di masjid alun-alun kota Brebes untuk istirahat dan sholat. Panas matahari diluar begitu kontras dengan suhu di dalam masjid yang dingin ber-AC. Rasanya tidak ingin beranjak dari sini. Di masjid ini, aku berhasil kontak dengan Bu Mobinta, teman guru di Sekolah Alam Ar-Ridho yang sekarang menjadi entrpreuner di Brebes bersama suaminya.

Masjid Agung Brebes

Pukul 13.00, di pinggir jalan yang teduh di kota Brebes aku bertemu dengan bu Binta. Beliau memberi oleh-oleh berupa produk usahanya. Bawang goreng siap saji dan serbuk  jahe merah, untuk teman istirahat di jalan. Wah, cocok! Ide bu Binta memang brilian, sebagai pusat kota bawang merah, maka perlu terobosan agar produk bawangnya bisa terus bertahan dengan harga yang stabil tanpa terpengaruh dengan harga musim panen. Produk pascapanen dalam bentuk bawang goreng adalah salah satu solusi cerdasnya.
Bu Mobinta dan suami bersama produk unggulannya
Bawang Goreng produksi Bu Mobinta

Brebes ternyata lumayan panjang.  Setelah kota Brebes, memasuki Bulakamba, Pejagan, Tanjung, kemudian Losari. Losari ini sendiri terbagi dua. Losari brebes dan losari Cirebon, lalu Kanci. Dari Kanci ke Cirebon tinggal 10 km lagi. Sayangnya, matahari sore keburu tenggelam. Sore itu aku menyaksikan secara perlahan matahari jingga bulat telur perlahan menghilang bersama laju kereta api disisi kanan jalan. Lalu jalan kemudian menjadi  gelap.  
Masuk Maghrib
Menjelang masuk Kanci tadi, satu spoke patah lagi. Seperti di Pemalang, spoke yang patah berhasil kuganti tanpa membongkar ban.  Sekitar 15 menitan, spoke sudah dapat diperbaiki.

Karena sudah gelap, aku mencari masjid. Ada masjid, tapi  di seberang jalan. Aku catat nama desanya Citemu, Kec. Mundu Km 6. Magriban disana. Anak-anak kecil sedang berebutan ta’jilan. Salah seorang diantara mereka tiba-tiba mendatangiku memberi sebuah bungkusan kertas isinya gorengan. Wah, banyak sekali isinya. Aku hanya mengambil  dua saja, sisanya kukembalikan kepada anak itu. Eh, dia menolak. “Untuk om saja”,  katanya.  Wah, baik hati sekali anak ini. Aku beranjak untuk memberikannya kepada anak-anak lain yang sedang bergerombol. Nah, setelah disini, tak berapa lama gorengannya langsung ludes. Hehe…

Yang  menarik di masjid ini, imamnya masih muda. Muda sekali. Lebih muda dariku. Padahal para makmumnya banyak yang sudah sepuh. Wah, hebat sekali anak muda ini. Di masjid ini juga, saat sedang persiapan untuk berangkat lagi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Kelak, teman-teman FedCirebon memberitahu, itu namanya angin Kumbang. Angin khas Cirebon. Kondisi ini membuatku mengenakan windbreaker selain rompi skotlite untuk keselamatan.

Sekitar pukul 19.00 aku memasuki kota Cirebon. Memasuki kota Cirebon dikala malam, seperti memasuki kota Jakarta, karena penuh lampu dan disambut dengan nanjak Flyover.  Seru juga sih. Turun dari flyover, aku ambil jalan lurus saat bertemu perempatan, kearah terminal. Di dekat terminal, ada sebuah toko waralaba. Di depannya ada lapak kopi susu. Berhenti sejenak disitu untuk menghangatkan badan sekaligus kontak dengan teman-teman FedCirebon.

Di lapak kopi susu sudah ada 3 orang anak muda. Mereka sepertinya pekerja sift malam. Dan ternyata kampung halamannya di Palembang dan Baturaja. Wong kito galo. Kesempatan ini kugunakan untuk menebar virus bersepeda.  Salah seorang diantara mereka sepertinya tertarik dan kemudian menjadi  teman di FB. Bahkan kopi susuku dibayarinya pula.

Taklama, om Faris dari FedCirebon datang menjemput, disusul kemudian om Marno, dan om Bowo beserta putranya. Kami kemudian bergerak ke rumah om Bowo di tengah kota Cirebon. Om Bowo ternyata memiliki Streetcat merah putih yang masih ori. Ada tulisannya the nicest people riding. Di rumah om Bowo kami beristirahat sambil bercengkerama ditemani Tahu Gejrot khas Cirebon dan bakmi goreng.  Sekitar pukul 23.00 om Faris dan om Marno undur diri.

Tahu Gejrot khas Cirebon
Dijamu oleh FedCirebon : om Marno, om Faris, om Bowo
Jarak tempuh di hari ke-2 ini 118 km, dengan pengeluaran sekitar 30 ribu rupiah.
Pemalang-Cirebon





Tidak ada komentar:

Posting Komentar