Hari ini badan terasa bugar, entah karena tidur yang lebih
panjang atau karena sudah dekat sampai rumah. Dengan medan yang (masih)
naik-turun, dan jarak yang tinggal 40 km lagi, perkiraan jam 10.00 sudah sampai
rumah. Tapi ternyata salah perkiraan , faktanya
aku sampai rumah pukul 11.30 WIB.
Pukul 06.30, setelah mandi, aku berpamitan kepada para
petugas PPK 10 yang muda dan baik hati. Kami
sempat berpose sebentar di depan posko, sebagai kenang-kenangan. Mengikuti
saran Meki, aku lewat jalan alternatif yang belum lama dibuka. Jalan ini lebih
cepat sampai ke Lahat, namun lebih dinamis naik-turun. Penasaran dengan info
ini, aku pun memilih jalan ini, bukan jalan yang biasanya, yang menuju Muara
Enim dulu.
Ternyata benar, jalannya lebih pendek, sayangnya belum
tercantum di peta manual yang kubawa. Dan benar juga banyak naik-turunnya. Ini
jalur roller coster. Nanjak terus meluncur turun, lalu nanjak lagi. Jadilah judulnya,
pagi-pagi sarapan tanjakan. Di jalur ini, terlihat beberapa alat berat masih
diparkir di tepi jalan. Dan nampak pula rumah-rumah baru bertipe perumahan.
Tanah di kanan kiri jalan juga nampak sudah dkapling-kapling.
![]() |
Jalur alternatif Tanjung Enim-lahat |
Ujung jalan alternatif ini adalah Terminal Regional Muara
Enim. Simpangannya bertemu dengan jalan raya Muara Enim-Lahat. Tidak jauh dari Terminal
Regional adalah gerbang batas kota Kab. Lahat. Wow, pagi-pagi aku sudah masuk
Lahat, walau masih di wilayah kabupaten yang paling ujung, yaitu Merapi Timur.
Kota Lahat masih 35 km dari sini.
Dari Merapi Timur ini, jalan tidak ada yang lagi menanjak curam. Kalaupun menanjak, landai. Kondisi jalan juga
bagus. Sampai hari ini, di etape 2, tidak ada kerusakan pada sepeda, spoke juga baik-baik saja. Di Merapi
Timur ini ada tambang batubara. Lepas dari Merapi Timur, masuk ke Merapi Barat.
Di sinilah ikon Lahat dapat dilihat dengan jelas, yaitu Bukit Serelo atau
Gunung Jempol. Sungai Lematang juga dapat kita saksikan
disini, dekat dengan jalan raya, seperti saat berada di Pengandonan dengan
sungai Ogannya.
Di ruas jalan ini, kita juga dapat menyaksikan jerambah (jembatan) gantung yang membelah sungai. Sungai Lematang sampai detik ini juga masih dijadikan sarana utama MCK oleh warga di sepanjang alirannya. Itu karena sungai Lematang masih alami. Keruhnya murni karena sedimen paskahujan bukan karena limbah pabrik seperti lazimnya sungai di pulau Jawa.
Di ruas jalan ini, kita juga dapat menyaksikan jerambah (jembatan) gantung yang membelah sungai. Sungai Lematang sampai detik ini juga masih dijadikan sarana utama MCK oleh warga di sepanjang alirannya. Itu karena sungai Lematang masih alami. Keruhnya murni karena sedimen paskahujan bukan karena limbah pabrik seperti lazimnya sungai di pulau Jawa.
![]() |
Salahsatu pemandangan khas : Jembatan Gantung |
![]() |
View di Merapi Barat, Kab. Lahat |
Pukul 10.30 aku tiba di Simpang Tiga Lahat. Kulihat disini
ada Posko Mudik Terpadu. Di pertigaan ini, ambil kiri berarti masuk ke Pasar
atau Kota Lahat, kanan lewat jalan lingkar.
Itu artinya Kota Lahat sudah didepan mata. Kira-kira 10 km lagi jaraknya. Aku kemudian
belok kanan, ke arah jalan lingkar. Seingatku dari sini, nanti bisa tembus ke
Bandarjaya, melewati Kantor Bupati, lalu GOR, kemudian pertigaan Kodim, lalu
Talang Jawa. Aku ingin mengambil foto di tugu pahlawan di pertigaan Kodim itu.
Tidak lama setelah masuk ke jalan lingkar, ada sebuah hotel
besar. Namanya Grand Zuri. Hotel itu dimasa aku
kanak-kanak belum ada. Namun sekarang sudah menjadi hotel berbintang.
Nah, seharusnya tidak lama setelah hotel itu, aku berbelok ke kiri. Tapi yang
terjadi, aku malah memilih jalan terus, ke jalan lingkar baru.
Jalan lingkar ini ternyata isinya jalan roller coster. Aduh,
jam menunjukkan pukul 11.00, sudah lumayan terik, kok malah disuguhi roller
coster. Sesekali mobil pemudik yang hendak menuju Lubuk Linggau dan Tebing Tinggi melintas. Aku sempat ragu, jalan
ini menuju kemana, jangan-jangan justru keluar Lahat. Haha.. kok malah tersesat
di kota sendiri. Tapi, asli, jalan ini baru, aku belum pernah lewat sini
sebelumnya. Sungguh banyak perubahannya setelah 10 tahun tidak pulang ke Lahat.
Aku kemudian masuk ke wilayah pembakaran batu bata. Disini,
tanjakannya lumayan tinggi. Kemudian meluncur turun, untuk kemudian menanjak
lagi. Manggul, begitu tulisan yang sempat kubaca di salah satu rumah warga yang
jarang-jarang itu. Begitu ada seorang
warga dipinggir jalan, aku segera bertanya, dan ternyata benar, aku mengambil
jalan memutar. Jalur ini lebih panjang 10 km dari jalur lama. Kalau mau masuk lahat, diujung jalan lingkar
ini harus belok ke kiri, sebab kalau belok ke kanan ke arah Gumay, atau menjauh
dari Lahat.
Di kilometer sekian, kulihat ada bangunan Polsek Lahat. Nah,
itu hal baru juga. Masa, Polsek ada di daerah paling pinggir begini, batinku. Setelah
melewati beberapa tanjakan, di tengah hari, dengan sisa tenaga, pokoknya
prinsip TDL.. Tinggal Dikit Lagi…kugenjot terus si Totti ini. Dan akhirnya,
gerbang batas kota Lahat terlihat, itu berarti akhir dari jalan lingkar ini.
Tinggal belok ke kiri. Dan ternyata ada tanjakan tinggi lagi…ampun dah. Kotaku
ternyata seperti Tanjungkarang, banyak tanjakannya. Campur aduk antara
bangga-bangga sebel. Hehe..
Kelak, dari penjelasan om Norca, barulah aku ketahui,
tanjakan terakhir di pertigaan batas kota itu namanya tanjakan Air Dingin. Dan
tak kuduga, ujung dari tanjakan ini adalah Dodikif. Itu semacam detasemen
pendidikan pelatihan bagi infantri yang terkenal seantero Lahat. Dodikif inilah
yang menjaga kota Lahat, dari ancaman begal dan semacamnya. Maju sedikit dari Dodikif adalah Pagar Agung.
Disanalah rumahku berada. Rupanya, aku pulang lewat atas, bukan lewat bawah
seperti biasanya. Ya, inilah konsekuensi besar ditanah rantau dan waktu
kecilnya belum sempat tuntas mengeksplorasi kotanya sendiri. Hihi…
Sampai rumah, kuucapkan salam, danyang pertama
kalimenyambutku adalah ibuku. Beliau langsung berteriak kaget, “nah, ado kakak,
dek…”. Dedek yang dimaksud adalah adikku yang bungsu. Disusul kemudian bapak.
Segera kupeluk cium mereka berdua. Karena merekalah, tujuan gowes ini
dilakukan. Ah, bapak, laki-laki tua yang usianya sudah 70 tahun dan
giginya ompong semua, karena dialah aku jadi punya nyali untuk menjadi
‘lone ranger’, mengayuh pedal sendirian dari Semarang ke Lahat.
Di hari terakhir ini, jarak tempuhnya 59 km saja. Jarak terpendek
di sembilan hari perjalanan Gowes Mudik ini. Pengeluaran 20 ribu saja, cuma
buat beli air minum. ODO = 9426 km. Jarak
Tempuh Etape 2 (Gowes saja) adalah 274 km. Jika ditotal, jarak tempuh
seluruhnya dari Demak ke Lahat adalah 971 km. Dan jika ditambah jarak tempuh
selama gowes di Lahat dan waktu pulang kembali ke Semarang (Kalideres-Cempaka
Putih, Cempaka Putih-Rawamangun, Krapyak-Tembalang), jarak totalnya adalah 1045
km, atau pembulatan jadi 1000 km! Seribu
kilo sudah jarak yang kutempuh dalam Gowes Mudik 2015 ini. Alhamdulillah.
![]() |
Tanjung Enim-Lahat |